Polri Apps
banner 728x90
Opini  

Ada Apa Dibalik Demo

Foto : Simon Payung Masan.

Catan : Simon Payung Masan

Paska demo besar-besaran di BP Batam yang mengakibatkan sejumlah fasilitas rusak dan sedikitnya 43 massa pendemo ditahan di Polresta Barelang maupun Polda Kepri, masih ada PR (Pekerjaan Rumah) panjang yang segera harus diselesaikan secara bijak oleh para pemangku kepentingan dengan tokoh-tokoh Melayu setempat (tokoh Melayu Rempang khususnya).

Kerusakan yang diakibatkan oleh massa demo kemarin di kantor BP Batam tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan “rusak” dan “sakitnya” hati masyarakat Rempang yang sudah diperlakukan sewenang-wenang oleh para pemangku kepentingan.

Benar, kata bapak presiden bahwa “KOMUNIKASI YANG JELEK menjadi penyebab kekisruhan ini terjadi”.

Jelas-jelas masyarakat Rempang sangat wellcome dengan investasi didaerahnya. Tapi tolong hargai mereka, ajaklah mereka berbicara dari hati ke hati. Jangan serta merta mereka harus dipaksa keluar dengan janji-janji yang masih sangat samar, seperti tanah yang semula berukuran 200 meter berubah menjadi 500 meter misalnya.

Terkesan bahwa sebenarnya pemerintah sendirilah yang agak lamban bergerak. Belum tersedianya lahan dan rumah yang dijanjikan, tetapi masyarakat dipaksa keluar dari tanah tumpah darah mereka yang sudah mereka diami turun temurun. Sangat perlu digaris bawahi bahwa jangan sampai JANJI MANIS BP Batam (pemerintah) ini hanya sebagai pemanis dan angin surga saja.

Sekarang semua sudah terjadi, masyarakat Rempang trauma oleh gas air mata yang sudah mereka alami dan rasakan, porak porandanya kantor BP Batam, ditangkap dan ditahannya para pendemo menjadi catatan kelam tersendiri.

Saatnya kini semua yang berkepentingan, termasuk saudara-saudara kita masyarakat Rempang kita sama-sama cooling down dahulu.

Setelah kejadian pilu ini, maka saatnya pemerintah harus membuka hati untuk masyarakat Rempang. Masyarakat akan membuka hati untuk musyawarah mufakat bila pendekatan budaya dan kemanusiaan dikedepankan. Pendekatan dengan kekerasan sejauh mungkin dihindari agar semua pihak merasa puas dan tak merasa tertekan satu sama lain.

Narasi bahwa “biar langit runtuh, Rempang tetap tak boleh direlokasi” adalah narasi ekspresi ketidakpuasan atas sikap pemerintah seolah-olah pemerintah tidak memperhatikan adat dan budaya Melayu sebagai pendekatan awal.

Masyarakat Melayu, Saya sangat yakin bahwa mereka juga akan mengapresiasi pemerintah bila juga pemerintah memperhatikan kata pepatah “dimana bumi di pijak di situ langit di junjung”.

Sudah merupakan keniscayaan bahwa kita perlu berkembang dan membangun diri terus menerus.

Hentikan narasi-narasi yang saling menyalahkan, mempertahankan keegoisan kita maupun kelompok kita dengan tetap saling gontok-gontokan. Sampai kapan akan berakhir.

Ditambah lagi bahwa tak bisa dipungkiri ada banyak pihak yang menjadikan kasus Rempang ini sebagai sarana menunjukkan keeksistensian diri maupun kelompok.

Sudahlah, fokus pada kepentingan dan hak-hak warga masyarakat Rempang agar mereka jangan sampai menjadi korban sia-sia dari sebuah investasi yang mencengangkan ini.

“Kemanusiaan” masyarakat Rempang menjadi fokus untuk dipertahankan sebagai martabat kehidupan itu sendiri.

Kehadiran sebuah investasi hendaknya berdampak positif bagi martabat kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri, bukan malah sebaliknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *