Batam, Owntalk.co.id – Ratusan warga Mangsang Permai, Kelurahan Mangsang, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, menuntut penggarap lahan hutan lindung yang bersempadan dengan pemukiman mereka, dihentikan karena menimbulkan banjir lumpur setiap hujan lebat turun. Permintaan itu akhirnya dipenuhi usai pernyataan kekhilafan dari BP Batam dalam pertemuan antara penggarap dengan warga yang difasilitasi oleh pemerintah dan Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimca) Sei Beduk.
”Benar, kemarin warga melakukan aksi penolakan terhadap pengembang di samping pemukiman warga Mangsang Permai yang menimbulkan banjir lumpur setiap kali turun hujan lebat. Pemerintah yang dipimpin Camat Sei Beduk telah memutuskan penghentian seluruh kegiatan pengembang hingga selesai dibangun drainase dan bak kontrol untuk mencegah banjir dan lumpur meluap ke pemukiman,” kata Dedi, Ketua RT 05, RW 01 Kelurahan Mangsang, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, kepada Owntalk.co.id, Jumat, 5/5/2023.
Sepengetahuan warga di perumahan itu, hutan yang berada di sisi pemukiman merupakan hutan lindung. ”Tetapi ada pengembang yang mengaku telah mendapat alokasi lahan untuk KSB (kavling siap bangun) pada tahun 2017. Karena pihak pengembang tidak dapat menunjukkan izin atau AMDAL, serta setiap hutan turun selalu terjadi banjir dan luapan lumpur, maka pemerintah menghentikan kegiatan, serta lokasi diberi segel oleh aparat Gakkum (Penegakan Hukum) dari DLH (Dinas Lingkungan Hidup). Namun bulan lalu segel dibuka, dan pengembang mulai menggarap lahan, sehingga kami kembali menderita setiap kali turun hujan,” kata Hotmauli Sianturi, Ketua RT 04 RW 01, Kelurahan Mangsang.
Aksi memasang spanduk sepanjang 20 meter dilakukan oleh warga dengan membubuhkan tandatangan di atas spanduk yang dipasang di bukit yang telah gundul digarap oleh pengembang. Pada spanduk tertulis: ”Penolakan Warga Mangsang Karena Proyek Ini Bikin Banjir. SELAMATKAN HUTAN LINDUNG!” Di sela-sela tulisan itu, warga membubuhkan tandatangan penolakan. Aksi itu dilakukan warga, kata Pinem, seorang warga Mangsang, menyusul ketidak-pedulian pemerintah setempat terhadap keluhan warga yang selalu kebanjiran akibat luapan air dan lumpur dari kawasan di samping perumahan.
Anehnya, Ronal Tobing sebagai penanggungjawab proyek penyiapan lahan di bukit Mangsang, mengakui lahan seluas 3,9 hektar yang diserahkan ke PT Duta Sion tidak dibangun untuk KSB. ”Ya, di lahan itu akan dibangun perumahan (untuk dijual ke umum),” kata Ronal Tobing. Pengakuan Ronal Tobing ini bertentangan dengan pengakuan yang disampaikan kepada Camat dan Forkopimca Sei Beduk. Catatan Redaksi.
Amarah warga memuncak akibat tidak ada tindakan pengembang untuk memperbaiki saluran air yang meluap dari tanah bukit yang dipotong (cutting) oleh pengembang. Setiap kali hujan lebat turun, sekitar 300-an rumah warga di samping bukit menjadi langganan banjir lumpur. ”Kami bukan saja tidak bisa tidur setiap kali hujan turun, tetapi kasur serta peraboran dan barang-barang elektronik serta peralatan rumah tangga rusak akibat luapan banjir dan lumpur. Siapa yang bertanggung jawab, sementara pengembang dengan leluasa melakukan aktivitas pemotongan tanah di atas bukit,” kata Asnad Rotua P, Ketua RT 03 RW 01 Mangsang.
Menyusul aksi memasang spanduk untuk menghentikan kegiatan pengembang di bukit yang diketahui sebagai wilayah hutan lindung itu, Camat Sei Beduk, Dwiki Septiawan, bersama Forkopimca mengajak warga mengadakan pertemuan di Kantor Kecamatan Sei Beduk. Hadir dalam kegiatan Kapolsek Sei Beduk, AKP Benny Syahrizal, Danramil Sei Beduk, Kapten Inf Samjos Sirait, Direktorat Pengamanan yang dihadiri Darman, Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, serta pihak pengembang Ronal Tobing. Sekitar 100 warga Mangsang Permai hadir dalam rapat itu setelah sempat menunggu selama 2 jam setelah melakukan aksi di lokasi pengembang.
Dalam pertemuan itu, Darman yang mewakili Ditpam BP Batam, mengakui pihaknya (BP Batam) khilaf dalam mengawasi tindakan pengembang di kawasan itu. ”Kami mohon maaf, karena ada ke-khilafan dalam masalah ini (pengalokasian lahan kepada pengembang di kawasan itu),” kata Darman. Namun pejabat Ditpam BP Batam itu tidak menjelaskan apa saja kesalahan pengembang yang telah menerima kawasan hutan lindung itu dari BP Batam, dan mengapa bisa terjadi BP Batam khilaf dalam kasus itu.
Keputusan yang dapat dicatat dalam rapat antara warga dan pengembang yang dipimpin Camat Dwiki Septiawan, antara lain disimpulkan PT Duta Sion sebagai pengembang yang memperoleh lahan seluas 3,9 hektar di lokasi Mangsang, harus menghentikan seluruh kegiatan. Penghentian itu dilakukan hingga pengembang dapat menunjukkan perizinan yang diperlukan, antara lain surat Penetapan Lokasi (PL), Bukti Pembayaran Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Batam, Surat Keputusan (SKep), Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan perizinan yang diperlukan.
Catatan media ini, penerbitan KSB dari BP Batam telah dihentikan sejak 2017. Pemindahan warga yang menghuni ruli (rumah liar/tidak memiliki legalitas) dari kawasan Baloi, Simpang Jam, dan sekitarnya telah selesai dilakukan pada 2017 dan 2018. Sesuatu yang tidak lazim lagi saat ini jika BP Batam mengalokasikan lahan kepada pengembang yang akan menjual KSB kepada warga yang direlokasi dari kawasan ruli ke tanah kosong yang nota bene merupakan hutan lindung.
Sesuai dengan Peraturan Presiden RI nomor 87 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun, lokasi Mangsang merupakan bagian dari Hutan Sei Tembesi yang berisi 838,8 hektar hutan lindung (HL). HL itu direlokasi dari Dam Baloi pada 2010 menyusul penandatanganan nota kesepakatan oleh Menteri Kehutanan Mohamad Prakoso dengan BP Batam. Ketika itu ada catatan di dalam nota kesepakatan bahwa lahan Baloi Kolam belum bisa diterbitkan Izin Prinsip (IP) bila Pemerintah Kota Batam dan BP Batam belum menetapkan lahan pengganti atas 119,6 ha lahan yang beralih fungsi.
Alih fungsi kawasan hutan lindung itu ditandai dengan diterbitkannya sejumlah Izin Prinsip (IP) pada 29 Oktober 2003 oleh Wakil Walikota Batam Asman Abnur dan Ketua Otorita Batam Ismeth Abdullah. Pada IP itu dituliskan bahwa lahan Baloi Kolam diperuntukan untuk jasa dengan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) sebesar Rp51.750 per meter dengan masa pembayaran untuk 30 tahun.
Kemudian pada 2010, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, menerbitkan dua Surat Keputusan Menteri Kehutanan, pertama No. 724/Menhut-II/2010 tentang penetapan kawasan hutan lindung Sei Tembesi seluas 838,8 hektar sebagai pengganti hutan lindung Baloi Kolam. SK kedua No. 725/menhut-II/2010 tentang pelepasan kawasan Hutan Lindung Baloi seluas 119,6 hektar. SK itu diteken pada 30 Desember 2010 dan diserahkan pada Wali Kota Batam Ahmad Dahlan serta Kepala BP Batam Mustofa Widjaja.
Anehnya, Ronal Tobing sebagai penanggungjawab proyek penyiapan lahan di bukit Mangsang, mengakui lahan seluas 3,9 hektar yang diserahkan ke PT Duta Sion tidak dibangun untuk KSB. ”Ya, di lahan itu akan dibangun perumahan (untuk dijual ke umum),” kata Ronal Tobing. Pengakuan Ronal Tobing ini bertentangan dengan pengakuan yang disampaikan kepada Camat dan Forkopimca Sei Beduk. (*)