Jakarta, Owntalk.co.id – Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan temuan produk pangan yang secara mengejutkan mendapatkan sertifikat halal, meskipun namanya berasosiasi dengan minuman beralkohol dan makhluk halus.
Unggahan tersebut diunggah oleh akun Instagram @aishamaharani pada Rabu (25/9/2024) yang menampilkan beberapa produk seperti wine, bir, dan tuak yang tercatat bersertifikat halal.
Tidak hanya itu, akun TikTok @dianwidayanti pada Sabtu (28/9/2024) juga menunjukkan produk donat dan kue dengan nama tuyul yang mendapatkan sertifikat halal di laman Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) Kementerian Agama (Kemenag).
Lantas, bagaimana respons dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap produk-produk yang kontroversial tersebut?
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam, mengonfirmasi bahwa temuan warganet tersebut valid. Produk-produk tersebut, seperti bir dan donat “tuyul”, memang terdaftar sebagai produk halal di laman BPJH.
Namun, setelah kasus ini ramai diperbincangkan, nama-nama produk tersebut sudah tidak bisa ditemukan lagi di laman BPJH.
Asrorun menjelaskan bahwa sertifikasi halal untuk produk-produk tersebut dilakukan melalui jalur self-declare, yang tidak melibatkan penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI atau audit dari Lembaga Pemeriksa Halal.
Padahal, menurut Asrorun, penetapan kehalalan produk harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh MUI.
“Penetapan halal yang menyalahi standar fatwa MUI serta tidak melalui Komisi Fatwa MUI ini di luar tanggung jawab MUI,” tegas Asrorun dalam keterangan resminya, Selasa (1/10/2024).
Asrorun menambahkan bahwa Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang standarisasi halal dengan tegas mengatur kriteria penggunaan nama dan bahan produk yang didaftarkan sertifikat halal.
Nama-nama yang mengarah pada kekufuran, kebatilan, atau simbol-simbol yang dilarang syariat, seperti babi dan khamr, tidak boleh digunakan dalam produk yang disertifikasi halal.
Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, menambahkan bahwa jalur self-declare mengandung risiko tinggi dan harus dijalankan dengan sangat hati-hati.
Ia menekankan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam sertifikasi halal harus benar-benar memperhatikan standar halal yang berlaku, termasuk proses produksinya, agar sesuai dengan aturan.
“Sistem self-declare mengandung risiko, maka harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan mematuhi standar halal yang sudah ditetapkan,” ujar Huda.
Sementara itu, Mamat Salamet Burhanudin, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, menjelaskan bahwa masalah ini terkait dengan penamaan produk, bukan pada aspek kehalalan produk itu sendiri.
Ia menegaskan bahwa produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal telah melalui proses yang sesuai dengan ketetapan Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal.
“Produk-produk yang telah bersertifikat halal telah melalui mekanisme yang berlaku dan terjamin kehalalannya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/10/2024).
Mamat juga menyoroti bahwa aturan soal penamaan produk sudah diatur secara jelas dalam SNI 99004:2021 tentang Persyaratan Umum Pangan Halal serta Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020.
Berdasarkan aturan ini, nama produk tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam atau etika yang berlaku di masyarakat.
Namun, ia mengakui bahwa masih ada beberapa produk yang lolos dengan nama-nama yang tidak sesuai dengan regulasi tersebut.
Hal ini, menurut Mamat, terjadi karena adanya perbedaan pandangan terkait penamaan produk di berbagai pihak yang terlibat.
“Kami tidak memungkiri bahwa masih ada produk dengan nama yang tidak sesuai, karena ada perbedaan interpretasi mengenai nama yang layak digunakan. Data kami di Sihalal menunjukkan adanya fenomena ini,” tuturnya.
Dengan pernyataan dari BPJPH dan MUI ini, diharapkan masyarakat lebih waspada dalam memahami proses sertifikasi halal, khususnya yang melibatkan jalur self-declare, serta tetap mematuhi syariat dan etika dalam pembuatan dan penamaan produk.