Bandung, Owntalk.co.id – Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB), Fidela Marwa Huwaida, mendesak agar pimpinan ITB memberikan keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tanpa syarat kepada mahasiswa yang membutuhkannya.
Desakan ini muncul terkait kebijakan ITB yang mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa UKT untuk bekerja paruh waktu di kampus sebagai timbal balik.
“Sebagai institusi pendidikan, ITB seharusnya memberikan hak keringanan UKT tanpa meminta imbalan yang tidak seimbang dari mahasiswa,” ujar Fidela dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/9/2024).
Menurut Fidela, seharusnya kerja paruh waktu yang diwajibkan tersebut bersifat sukarela, tanpa ada paksaan maupun konsekuensi terhadap hak mahasiswa.
“Pekerjaan paruh waktu ini seharusnya tidak dikaitkan dengan keringanan UKT. Mahasiswa harus memiliki kebebasan untuk memilih tanpa khawatir haknya dipertaruhkan,” tambahnya.
Kebijakan ITB yang saat ini diterapkan menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak mengisi data terkait pekerjaan paruh waktu dapat dievaluasi kembali beasiswanya.
Hal ini menurut Fidela, sangat tidak adil bagi mahasiswa yang sebenarnya berhak mendapatkan keringanan UKT.
Kabinet KM ITB telah melakukan advokasi langsung dengan Direktur Pendidikan ITB, Arief Hariyanto, pada Selasa (25/9/2024).
Dalam pertemuan tersebut, Arief menyampaikan bahwa kebijakan ini telah diinformasikan kepada 5.500 mahasiswa, dan waktu kerja paruh waktu dibatasi maksimal dua jam per minggu. Pekerjaan yang ditawarkan antara lain sebagai asisten mata kuliah, administrasi fakultas, atau membantu di laboratorium dan unit kerja lain.
Meski begitu, Arief menegaskan bahwa kebijakan ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 Pasal 18, yang menyatakan bahwa keringanan UKT setara dengan beasiswa, sehingga mahasiswa dianggap perlu memberikan kontribusi balik kepada institusi.
Fidela menyoroti bahwa pimpinan ITB menolak memberikan surat perjanjian kerja kepada mahasiswa penerima beasiswa dengan alasan menjaga kehormatan mereka agar tidak diperlakukan seperti penerima bantuan langsung tunai (BLT).
Namun, ia menilai bahwa ini justru membuat mahasiswa kehilangan kepastian hukum dan perlindungan terkait hak mereka.
Selain itu, Arief juga mencontohkan praktik serupa di National University of Singapore (NUS), di mana mahasiswa penerima beasiswa juga bekerja paruh waktu.
Namun, menurut Fidela, perbandingan tersebut tidak tepat. “Di NUS, beasiswa mencakup seluruh biaya kuliah dan tempat tinggal. Sementara di ITB, hanya ada keringanan UKT berdasarkan verifikasi ekonomi, yang sebenarnya merupakan hak mahasiswa,” jelasnya.
Arief juga menyatakan bahwa kerja paruh waktu ini bukan eksploitasi, melainkan bentuk kontribusi dan rasa terima kasih mahasiswa kepada ITB.
Namun, Fidela mempertanyakan hal ini karena sekitar 200 mahasiswa yang telah mengisi formulir kewajiban kerja paruh waktu tidak mendapatkan kejelasan, dan formulir tersebut telah ditutup kembali.
“Yang aneh adalah, meskipun disebut opsional, mereka yang tidak ikut serta dalam kerja paruh waktu tetap akan dievaluasi ulang terkait keringanan UKT-nya,” tegas Fidela.
Saat ini, ITB masih mempertahankan kebijakan tersebut, meskipun protes terus berlanjut dari berbagai pihak yang merasa kebijakan ini belum sepenuhnya adil dan transparan. Mahasiswa berharap ada revisi kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan mereka.