Jakarta, Owntalk.co.id – Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengkritik perencanaan pendidikan yang dipaparkan oleh perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam sidang lanjutan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (1/8/2024).
Sidang ini membahas gugatan terkait pembiayaan pendidikan dasar gratis untuk SD dan SMP negeri maupun swasta.
Dalam presentasinya, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, memaparkan bahwa anggaran pendidikan dialokasikan 20 persen dari APBN.
Namun, Guntur menilai bahwa realisasi tersebut tidak sepenuhnya memperhatikan perintah Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945, yang mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar bagi seluruh warga negara.
“Dalam perencanaan perlu diperhatikan bukan hanya alokasi 20 persen dari APBN sesuai Pasal 31 Ayat (4), tetapi juga implementasi Pasal 31 Ayat (2) yang menekankan pendidikan dasar gratis,” kata Guntur.
“Alokasi 20 persen itu hanya minimum, bisa lebih dari itu, dan harus memastikan pendidikan dasar gratis selama sembilan tahun,” tambahnya.
Guntur juga menekankan pentingnya pendidikan dasar gratis yang tercermin dalam amendemen UUD 1945. Ia menyebutkan bahwa dari 194 ayat dalam UUD 1945 hasil amendemen, frase “biaya” hanya muncul dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan. “
Luar biasa, konstitusi dua kali menyebut kata ‘wajib’ dalam Pasal 31 Ayat (2),” kata Guntur.
Guntur menegaskan bahwa prioritas harus diberikan pada pendidikan dasar gratis agar orang tua murid tidak dibebani biaya. “Sudut pandangnya harus pada pembebasan biaya bagi pendidikan dasar wajib sembilan tahun,” ujarnya.
Amich Alhumami menganggap bahwa menggratiskan sekolah swasta sulit direalisasikan karena biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah negeri.
“Untuk memenuhi standar pelayanan minimal di sekolah negeri, biaya per siswa Rp 24,9 juta. Di sekolah swasta bisa mencapai Rp 200 juta per siswa per tahun,” kata Amich di hadapan majelis hakim.
Amich juga menekankan bahwa prioritas pemerintah adalah siswa-siswi dari keluarga tidak mampu yang masih belum mendapatkan akses pendidikan menengah. Prinsip alokasi anggaran pendidikan yang disusun pemerintah adalah untuk memenuhi standar pelayanan minimal yang dianggap relatif cukup.
Namun, beban biaya di luar standar pelayanan minimal seperti ekstrakurikuler dan kunjungan studi seringkali dibebankan kepada orang tua.
“Ini alasan mengapa penggratisan seluruh sekolah swasta dianggap tidak realistis karena standar pembiayaan mereka yang tinggi tidak dapat dicakup oleh APBN,” ujar Amich.
Dalam uji materi ini, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta agar Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas mewajibkan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri dan swasta. JPPI berpendapat bahwa tidak mewajibkan sekolah swasta gratis bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945.
JPPI juga mengkritisi tingginya angka putus sekolah meskipun anggaran pendidikan meningkat. Menurut JPPI, Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah masih berupa bantuan, bukan kewajiban negara untuk menjamin pendidikan dasar gratis bagi seluruh warga negara.
Gugatan ini mencerminkan upaya untuk menegaskan komitmen pemerintah dalam menjamin akses pendidikan dasar yang inklusif dan merata, sesuai dengan amanat konstitusi.
Pandangan Guntur dan JPPI menyoroti pentingnya reformasi kebijakan untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia dapat mengakses pendidikan dasar tanpa hambatan biaya.