Polri Apps
banner 728x90
Opini  

Kepri Dalam Cengkaman Politik Dinasti

Atanasius Dula, S.A.P (Doc : Owntalk)

Batam, Owntalk.co.id – Kekhawatiran publik Kepri akan adanya cengkraman oligarki politik yang di bangun di atas fondasi dinasti politik, sepertinya bukan sekadar kegelisahan publik, namun mendekati kenyataan, dengan ditetapkannya pasangan Ansar Ahmad – Marlin Agustina, sebagai peserta kontestan Pemilukada Provinsi Kepulauan Riau dengan nomor urut 3, sedangkan anak Pak Ansar Ahmad (Roby Kurniawan) sebagai calon wakil Bupati Bintan, dan Suami dari Ibu Marlin Agustina (Muhamad Rudi) sebagai calon petahana Walikota Batam.

Pertanyaan Eka Kurniawati, Mahasiswi Ilmu Pemerintahan Stisipol Raja Ali Haji Tanjungpinang tentang “Akankah Dinasti Perpolitikan Terjadi di Kepri?” yang di posting melalui media luarbiasa.id (Minggu, 26/7/20) silam, seakan mendapatkan jawaban. Hal senada juga pernah diprediksi sebelumnya oleh media Gatra.com (12/7/20) yang mensinyalir akan adanya Politik dinasti yang terjadi pada perhelatan pilkada kepri 2020, juga ditimpali oleh media online indopolitika.com yang mengakomodir kekhawatiran Adi Saputra (aktivis Mahasiswa Uniba) yang mencemaskan praktik dinasti politik, yang menurutnya merusak substansi demokrasi serta menyebabkan kaderisasi kepemimpinan menjadi terpasung, sebagaimana juga ditenggarai oleh pengamat politik dari Universitas Riau Kepulauan, Zamzami A. Karim, pada beberapa waktu yang silam (Gatra.com, 17/720).

Menangkap fenomena kecemasan publik akan hadirnya calon pemimpin yang mencoba merintis hegemoni kekuasaan melalui dinasti politik, membuat penulis tergerak untuk menorehkan sekelumit pandangan sebagai bentuk kepedulian sosial, yang membantu masyarakat untuk melihat secara jernih akan dampak positif dan negatif yang akan timbul, bila calon pemimpin yang disinyalir merintis kekuasaan melalu politik dinasti ini, memenangkan kompetisi, dan menahkodai negeri ini, lima tahun ke depan.

Membaca Fenomena Dinasti Politik

Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional yang hari-hari ini ramai dipergunjingkan, tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik dapat dilihat dari kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik, lebih didasarkan atas keinginan elit partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon. Secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat, hingga mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.

Dinasti politik telah lama hadir di negara-negara demokrasi dan meningkatkan
kekhawatiran terjadinya ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik, yang dapat
mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis dalam politik, yang disebut dengan kekuasaan melahirkan kekuatan. Hal ini mengingatkan kembali
kekhawatiran Mosca, bahwa setiap kelas menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, bahkan ketika posisi politik terbuka untuk semua, kedudukan keluarga penguasa akan dianugerahi berbagai keuntungan (Synder, dkk, 2009:115).

Dalam demokrasi yang ideal, seharusnya rakyat memiliki peluang yang lebih besaruntuk terlibat dalam proses politik. Artinya sangat terbuka ruang partisipasi bagi seluruh masyarakat untuk ikut berkontestasi, memperebutkan jabatan-jabatan politik, mulai darilevel regional hingga nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataannya, masyarakat masih terhalang oleh status atau hak-hak sosialnya,
sebagai akibat dari adanya fenomena political dinasty. Jika demokrasi memiliki arti
kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, maka dinasti politik ini telah menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan kerabat kepala daerah untuk menjadi pejabat publik.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pilkada, sebenarnya memberikan angin segar dalam membatasi politik dinasti
dengan menggunakan pendekatan larangan konflik kepentingan. Namun regulasi ini dibatalkan melalui putusan MK Nomor 34/
PUU-XIII/2015, dengan alasan “konflik kepentingan dengan petahana”, hanya dengan
menggunakan pertimbangan yang bersifat politis dan asumtif, seolah-olah setiap calon yang mempunyai hubungan darah maupun hubungan perkawinan dengan petahana, dipastikan akan membangun dinasti politik yang akan merusak tatanan bangsa, tanpa mempertimbangkan lagi sisi kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas calon yang bersangkutan secara objektif.

Hubungan darah merupakan kodrat Ilahi yang hakiki dan asasi, yang menurut agama manapun secara universal, diakui sebagai hubungan yang sakral, dan bukan sebagai hubungan yang menghalangi untuk
berkiprah dalam pemerintahan, demikian halnya dengan hubungan karena perkawinan.
Putusan MK ini telah membuka jalan para kelompok dinasti politik untuk turut
berkontestasi dalam Pilkada.

Merintis Dinasti Politik di Daerah

Tampilnya Ansar Ahmad berpasangan dengan Marlin Agustina sebagai paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri nomor urut 3, yang memiliki ikatan kekeluargaan dengan Roby Kurniawan (anak dari Ansar Ahmad) yang akan maju sebagai Cawabub Kabupaten Bintan serta Muhammad Rudi (Suami dari Ibu Marlin Agustina) sebagai Cawako Batam, seakan melegitimasi kekuatan oligarki partai politik, dalam hal ini Partai NasDem dan Partai Golkar, yang dinilai publik, melakukan rekrutmen calon bukan berdasarkan mekanisme demokrasi dan pertimbangan kompetensi, integritas dan kapabilitas calon, namun berdasarkan selera elit partai, dan keinginan kuat untuk membangun hegemoni kekuasaan.

Penilaian publik ini beralasan mengingat Muhammad Rudi yang kini merangkap jabatan sebagai Walikota Batam dan Kepala BP Batam, adalah sosok yang juga menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem (Nasional Demokrat) Provinsi Kepri, sementara itu Ansar Ahmad sendiri adalah Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Kepri, yang tentu saja memiliki peluang dan kekuatan intervensi internal di masing-masing partai, dalam menentukan kandidat yang mengisi bursa calon pemimpin di Kepri maupun Kabupaten/kota lainnya di wilayah Kepulauan Riau ini.

Pertanyaan lebih lanjut yang juga menggelayuti pikiran publik adalah apakah proses kaderisasi kepemimpinan di kedua Partai ini tidak berlangsung baik, sehingga minim dalam melahirkan kader-kader lain yang siap bertarung dalam kancah pilkada? Atau barangkali cengkraman kapitalis yang kian mengakar kuat di tubuh partai-partai ini, sehingga memaksa kader-kader yang berintegritas namun minim finansial untuk enggan diorbitkan dalam kontestasi lima tahunan ini? Ataukah memang ada niat dalam diri para pemimpin partai ini untuk membangun oligarki kekuasaan, dengan menempatkan tokoh-tokoh dalam lingkaran keluarga mereka pada pilkada kali ini?

Dinasti Politik Dan Politik Dinasti

Dinasti politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda. Dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. Sementara itu Politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dinasti politik merupakan musuh
demokrasi, karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya.

Menakar fenomena Politik Dinasti yang kian menjamur di berbagai daerah, Pengamat Politik dari Universitas Muhammadyah Kupang, Dr. Ahmad Atang berpendapat, bahwa politik dinasti sebenarnya tidak dikenal dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem politik dinasti hanya bisa diterapkan di negara-negara yang menganut sistem monarki absolut. Sebab sirkulasi kepemimpinan di negara yang menganut sistem monarki absolut, selalu berbasis dinasti.

Lebih lanjut putera Kedang – Lembata ini mengingatkan, agar format politik yang keluar dari rel (politik dinasti) wajib untuk diluruskan. Dan peran meluruskan politik seperti ini menurut Atang, adalah dengan melakukan edukasi kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, di mana amanat demokrasi itu berdiri kokoh. Cara sederhana melawan kekuatan politik dinasti ini menurut Atang, adalah dengan mengajak masyarakat untuk tidak memilih kandidat yang ingin melanggengkan kekuasaan melalui sistem politik dinasti ini.

Bahaya laten Politik dinasti yang disinyalir oleh Atang adalah, bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin yang lahir dari proses politik dinasti, hanya akan di wariskan atau dibagi-bagi kepada kelompok kepentingan yang berkisar di seputaran pemimpin tersebut. Itu artinya semua sumberdaya kekuasaan, sumberdaya ekonomi, sumberdaya politik, hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, sehingga tidak membuka ruang terjadinya politik Egaliter. Politik Egaliter itu artinya semua orang diperlakukan secara proporsional dan diberi ruang untuk mengambil peran yang sama, bukan mempersempit ruang dan meminimalisir orang untuk terlibat dalam politik, sebut Atang.

Politik Dinasti Bisa Mendistorsi Demokrasi

Politik dinasti terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat di sebuah daerah. Saat jaringan tersebut mendukung politik dinasti yang berkuasa, akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut. Kalau kekuasaan itu absolut, logikanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. Menguatnya
jaringan politik yang dibangun oleh politik dinasti berdasarkan kedekatan politik keluarga, menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. Fenomena
di atas, boleh jadi sebagian orang menganggap wajar, namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi.

Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi, membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung.
Munculnya fenomena politik dinasti akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokras adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok
kepentingan maupun masyarakat politik. Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu
kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi.

Bagi masyarakat Kepri, pemegang kedaulatan yang siap memilih pemimpin negeri ini, kita semua mengimpikan tampilnya pemimpin yang perpacang amanah, bukan pemimpin yang lahir dari politik dinasti yang ingkar menjalankan amanah, atau mereduksi amanah rakyat, demi hegemoni kekuasaan. Kita semua pasti mengharapkan pemimpin yang bersauh marwah, bukan pemimpin yang membuang sauh dan merusak marwah demi kelompok kepentingan.

Kita semua adalah pemegang keputusan tertinggi untuk menentukan kemana arah haluan negeri ini di bawa. Kita semua adalah penentu pemimpin amanah, yang mampu membawa bahtera kepri melintasi malam. Sebab bila kita salah dan memilih nahkoda yang kurang paham, maka alamat bahtera Kepri ini akan tenggelam. (Atanasius Dula, S.A.P)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *