Polri Apps
banner 728x90
Opini  

The Politics Of Image (Literasi Politik Menjelang Pesta Demokrasi – Part I)

berita terkini batam
(foto: owntalk)

(Diolah dari berbagai sumber)

Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris KEKAL Batam

Adalah Samsudin Ahmad, Saudara dan Sahabat saya yang dikenal dengan sapaan akrab Syam Bimbo, melalui akun media sosial Facebook siang ini mengingatkan saya dengan postingan statusnya “Petugas Pemutakhiran Data Pemilih sudah bekerja. Ayo mari sukseskan pilwako Batam dan Pilgub Kepri 2020″…

Status FB yang disisipkan dengan beberapa foto aktivitas pendataan pemilih ini, sontak mengingatkan penulis bahwa sebentar lagi, perhelatan pesta demokrasi pemilihan umum kepala daerah di wilayah ini akan berlangsung.

Tergugah akan postingan status bung Bimbo ini, mendorong saya untuk menuliskan artikel ini, sebagai bentuk tanggung jawab sosial saya kepada khalayak, untuk memberikan literasi Politik kepada masyarakat daerah ini, dalam menakar fenomena sosial yang terjadi, sembari menata nurani untuk menjatuhkan pilihan kepada pemimpin yang kelak menahkodai wilayah ini, baik Batam maupun Kepri, dalam lintasan tahun-tahun perziarahan. Sebab syair Melayu mengingatkan “kalau nahkoda kurang la paham, alamat kapal akan tenggelam”.

Narsisme Politik

Kontestasi Pilkada sering menampilkan pertandingan dengan selebrasi politik yang mendewakan kandidat dengan ber-retorika untuk sebuah pencitraan melalui cara-cara menutup wajah keaslian dan kebenaran agar elektabilitas kandidat bisa ditingkatkan sehingga kemenangan dapat digenggam.

Dalam politik abad informasi ini (dan barangkali alasan pandemi), citra politik seorang tokoh yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik, seolah menjadi “mantra” yang menentukan pilihan politik. Melalui “mantra elektronik” itu, persepsi, pandangan, dan sikap politik masyarakat dibentuk, sekaligus dimanipulasi. Politik menjadi “politik pencitraan” yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik.

Kekuatan “mantra elektronik” telah menghanyutkan para elite politik dalam gairah mengonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Beberapa citra itu tak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra terputus dari realitas yang dilukiskan.

Musyrid Setiawan mencatat pada medio Februari 2019 yang silam, bahwa politisi yang demam membangun citra diri akan menggiring pada “narsisisme politik”, yang mengutip tulisan Freud bahwa “Narsisisme” tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri, tetapi juga segala bentuk “penyanjungan diri” (self-admiration), “pemuasan diri” (self-satisfaction), atau “pemujaan diri” (self-glorification) (Erich Fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang (Christopher Lasch, The Culture of Narcissism, 1985).

“Narsisisme politik” adalah kecenderungan “pemujaan diri” berlebihan para elite politik, yang membangun citra diri, meski itu bukan realitas diri sebenarnya: Dekat dengan orang muda, peduli dengan orang sakit, berkumpul dengan para “ketua-ketua” padahal itu dilakukan secara pragmatis tanpa interesting yang memiliki kepedulian tinggi. Intinya ia bisa berselfi ria dengan banyak orang, maka selesailah tugasnya, karena yang terutama adalah bisa foto bersama bukan bekerja bersama.

Narsisisme politik adalah cermin artifisialisme politik (political artificialism), melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan pandangan publik.

“Narsisisme politik” adalah bentuk “keseketikaan politik” (political instantaneous) yang merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tak menghargai “proses politik”. Aneka citra politik : “jujur”, “cerdas”, “bersih”, atau “nasionalis”, “integritas”, adalah citra yang? seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, dan prestasi politik. Namun, mentalitas “menerabas”, mendompleng popularitas orang lain (orang terdekat, tokoh tertentu, penguasa,dll) telah mendorong tokoh miskin prestasi mengambil jalan pintas manipulasi citra instan.

Narsisisme politik adalah cermin politik seduksi (politics of seduction), yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang bertujuan meyakinkan tiap orang bahwa citra yang? ditampilkan adalah kebenaran. Padahal, citra-citra itu tak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah karena tercipta atas jasa orang lain.

Politisi jenis ini hanya akan merayakan segala yang mudah, instan, segera, provokatif, menggoda, dan menolak yang rumit, berbelit-belit, akademik, ilmiah, dan terlalu serius. Politikus seperti ini akan terjebak dalam kerangkeng, apa yang dikenal sebagai simplifikasi politik.

Political Simplification

Simplifikasi politik adalah politik “antinalar” yang mengabaikan kompleksitas konteks, logika formal, atau hukum kausal persoalan. Ia sebaliknya merayakan? logika informal (informal logics), yang menoleransi aneka sesat pikir, kedangkalan, jalan pintas, pernyataan tanpa argumen, penjelasan tanpa bukti, pembicaraan lepas konteks, dan cara pikir tak logis. Inilah wajah simplisitas politik bangsa dewasa ini.

Simbiosis budaya politik dan budaya media kapitalistik menciptakan budaya yang dilandasi hasrat “keuntungan cepat”, “personalitas artifisial”, dan “popularitas prematur”. Politik yang tunduk pada logika media melakukan aneka pembesaran efek (amplifying effect) terhadap segala yang mediocre. Politik macam itu memanipulasi emosi, mematikan rasa, memasung daya kritis, dan membuat pikiran kenyang dengan aneka stereotip sosial yang banal.

Media politik berkembang ke arah “anti-kedalaman” (depthlessness), dengan memuja gaya ketimbang substansi, citra ketimbang realitas, retorika ketimbang intelektualitas, efek ketimbang proses, emosi ketimbang nalar. Ia menghindar dari relasi abstrak, argumen konseptual, pikiran logis, hukum kausal, karena dianggap tak menarik. Godaan menciptakan komunikasi politik yang menarik, telah mengubur tugas pencerahan politik.

Apakah segala banalitas, kedangkalan, bahkan tipu daya komunikasi politik merupakan buah demokrasi, bila demokrasi dipahami sebagai sistem politik yang mempunyai spirit pencerdasan dan pemberdayaan individu dan warga, untuk menciptakan masyarakat demokratis sejati, maka apa yang berlangsung di atas panggung politik telah “melampaui” ideal demokrasi itu sendiri.

Cornel West dalam Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism (2004) mengatakan, demokrasi berlebihan, menciptakan “nihilisme demokratik” (democratic nihilism), yaitu praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan dan kesenangan, dengan mengabaikan substansi politik.

Memang, politik pencitraan amat penting dalam demokrasi abad informasi, karena melaluinya aneka kepentingan, ideologi, dan pesan politik dapat dikomunikasikan. Namun, ia harus dilandasi etika politik, karena tugas politik tidak hanya menghimpun konstituen sebanyak mungkin, melalui persuasi, retorika, dan seduksi politik, tetapi lebih penting lagi membangun masyarakat politik yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan.

Mari cerdas membaca fenomena politik hari ini agar tidak terjebak menjatuhkan pilihan pada Nahkoda yang hanya nampang di media (Selfi ria) tanpa kerja nyata, setia pada proses dan menjunjung tinggi etika dan moralitas politik.

(Artikel ini pernah dimuat di media BaPuSe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *