Polri Apps
banner 728x90
Opini  

Abssurdisitas Identitas Manusia (Dari Old Sosiety Menuju Modern Society)

berita terkini batam
(foto: owntalk)

(Diolah dari berbagai sumber)
Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris KEKAL Batam

Akhir-akhir ini media sosial menampilkan berita -berita seputar dialog kebangsaan, baik pada tingkat nasional maupun merangsek sampai pada tingkat lokal bahkan sampai kepada komunitas-komunitas akar rumput melalui media virtual, sebagai upaya untuk memberikan edukasi “New Normal”, menakar cengkraman oligarki pada sektor publik maupun mengurai isu-isu teranyar yang sedang merebak melalui media sosial dewasa ini, yang konon tereduksi dengan konten-konten hoaks.

Dialog virtual sebagai sarana komunikasi di tengah pandemi, yang berusaha meretas jalan ke masa lalu, melewati gundukan peradaban dan lorong-lorong kehidupan komunal yang telah begitu jauh dan merabun saat ini, berangkat dari kegelisahan masal akibat ambiguitas masyarakat yang minim memfilterisasi isu-isu yang merebak, sementara status kemanusiaan kita saat ini sedang diselimut lumut hedonistik (kebahagiaan artifisial). Padahal, “setiap kita bepergian, dan kemanapun kita tujuh, kita boleh lupa kain dan baju, tetapi jangan lupa identitas dan jatidiri, karena itu harga diri.

Saat ini status kita sebagai manusia telah menjadi perkakas atau kalau direken-reken, maksimal menjadi suku cadang dari smartphone. Sosok jengang, tertawa sendiri di tepi jurang pragmatisme. Lantas, kehidupan terasa sangar berada dalam kontainer yang mengangkut kepentingan dari satu pelabuhahan ke pelabuhan lain.

Saya lantas tercenung seketika ketika rekan FB menyergap saya dengan pertanyaan pendek: Sejak kapan kita ini kehilangan kepesonaan sebagai manusia? Pertanyaan pilu yang mencuatkan reflektif kritis tentang harkat hidup manusia di rimba raya teknologi komunikasi yang amat masif menyusutkan kemuliaan manusia di bumi.

Saya menimpali dengan alegoris, seraya menghela narasi peradaban yang hilang. Ya, ketika suara burung di pagi hari atau perarakan awan senja di leher bukit sebagai penanda waktu, diganti dengan jam dinding dan arloji, maka dari sinilah kita mulai berhala pada benda dan masuk dalam regukan materilisme.

Di sana, peradaban individualistik dan persaingan terus menikam jantung masyarakat komunal. Di sana pula, rumah kita tak lagi berfungsi sebagai institusi yang membiakkan nilai-nilai, tetapi sekadar tempat istirahat malam, terasa tengik, sumpek, tak ada mawar, tak ada lagu nina bobo yang dinyanyikan ibu, atau dongeng Ayah sebelum tidur.

Dialog dengan sahabat di FB terus menggergaji logika dengan sejumlah pertanyaan bernuansa ontoloogis. semisal, masih berartikah hidup kita? Kalau masih punya arti, seberapa besar atau pada level mana kita berada? Atau kita sedang dikepung oleh kesedihan yang tak tertahankan selama karnaval dari old society menuju modern society?

Seperti diketahui, bahwa yang kekal dari kebudayaan adalah perubahan dan yang kekal dari perubahan adalah konsekuensi. Salah satu konsekuensi paling sengit ialah kepesonaan kita sebagai manusia direbut oleh teknologi yang kita ciptakan.

Bayangkan, setelah televisi hadir 28 Agustus 1962, maka meja perjamuan kemanusiaan di ruang tengah dilenyapkan. Tak lama berselang, datanglah setan baru yang sengit menggigit kemanusiaan kita, internet (4 Juni 1988).

Makhluk ini membiakkan spesies lain seperti facebook, instagram, twitter dan media sosial yang terus mendorong kita ke tepi jurang, sendirian, tanpa belaian ayah-bunda.
Kita begitu rela menyerahkan diri kepada Smartphone (HP dengan vitur internet paling canggih), sehingga sangat tergantung padanya.

Jika sapu tangan atau celana dalam jatuh dari jemuran, diberitakan terlebih dahulu melalui media sosial sebelum ia bertanya kepada warga rumah. Memarahi suami atau istri, atau menagih utang pun melalui media sosial.

Lebih dari itu, facebook, twitter, instagram telah menjadi gereja atau masjid, tempat melayat, tempat pembaringan jenazah, menjadi rumah bersalin dan tempat penipuan paling vulgar, tempat memuntahkan dahak-dahak hoaks, menjadi pódium demagog (penghasutan).

Sebagian besar waktu bangun kita bersemuka dengan Smartphone daripada sesama manusia. Kita begitu latah, apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa berkomunikasi dengan orang sekitar.

Kisah ibu dua anak bernama Tung asal Tiongkok menegaskan naifnya kita bersahabat dengan hp android. Tung mati mendadak di ranjang dengan keadaan sangat aneh. Kedua tangannya memegang hp dan matanya terbuka menatap hp. Ibu mertuanya mengira, Tung sedang bermain hp, ternyata Tung sudah dingin. Tung telah meninggal. Dicari tahu penyebab kematiannya, Tung meninggal karena kelelahan. Siang bekerja sebagaimana ibu-ibu lainnya, tetapi di malam hari, ia menghabiskan waktu untuk berchating ria.

Tenknologi selalu menampilkan dua wajah paradoksal. Satu wajah memperlihatkan kehadirannya sebagai juru selamat umat manusia dari berbagai keterbatasannya. Hadirnya ban yang digerakan motor, mempercepat langkah kaki manusia dari satu tempat ke tempat lain. Televisi membantu meluaskan mata dan pengetahuan tentang dunia, datangnya internet, manusia diselamatkan dari keterkungkungan informasi, pengetahuan dan pergaulan dunia. Akan tetapi, pada sisi lain, teknologi menjadi monster yang rakus melahapi kepesonaan kita sebagai manusia.

Secara sosial, kita ditakdirkan hidup sebagai masyarakat komunal. Seseorang hanya merasa dirinya hadir dan dihargai sebagai manusia, apabila ia tergantung pada sesamanya.

Peradaban kita adalah peradaban komunal di mana individu sangat tergantung pada kolektivitas.Tempat pembimbitan dan pembobotan peradaban manusia adalah kampung ( Leu Auq , terminologi orang Kedang, salah satu Suku di wilayah timur Kab. Lembata, Nagari, bagi orang Padang, Huta, untuk orang Batak Toba atau Kampong, bagi orang Kepri).

Dalam pengertian masyarakat komunal, kampung bukan sekadar deretan rumah, melainkan gugusan yang membentuk institusi kemanusiaan. Kampung merupakan tempat mendikte nilai, norma, aturan dan perilaku. Dalam konteks ini, kampung merupakan rumah besar bagi warganya, sekaligus institusi peradaban warganya. Sebab, kampung hanya merupakan perluasan subjektif dari rumah tangga dimana warga diikat oleh hubungan saudara sedarah.

Individu dalam kampung komunal merasa tenteram secara psikologis (merasa ada dan berarti), jika mampu memahami hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, individu merasa sendirian jika terpisah atau dikeluarkan dari keluarga. Setiap orang wajib memberikan penghormatan yang tepat kepada orang sesuai hirarki geneologis dan sosiologis.

Sepanjang tali hubungan kekeluargaan, sepanjang itu pula pengontrol moral dalam pergaulan sosial. Dalam konteks itulah dibentuk tata peradaban tiga dimensi yakni hubungan manusia dengan wujud tertinggi, hubungan manusia masyarakat, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Gundukan tanah dan gundukan makna kampung dilenyapkan, ketika binatang modern bernama buldozer menggusur jalan setapak menjadi jalan raya. Jalan raya sebuah revolusi peradaban.

Di atas jalan raya, tidak hanya lalu-lalang manusia yang mengakses barang dan jasa dan mendekatkan jarak dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi jalan raya membawa perubahan kesadaran dan perubahan peradaban yang revolutif.

Orang datang dan pergi dari dan ke titik kepentingan. Jarang kita lewati jalan setapak sebagai proses sosial meski sekedar meminta air minun di tetangga, singgah di kampung lain sebagai bentuk perjamuan sosial (ritual kebersamaan).

Jalan setapak adalah prosesi sosial, sedangkan jalan raya adalah prosesi kepentingan. Orang yang melewati jalan setapak datang dan pergi menuju manusia, sedangkan orang yang melewati jalan raya datang dan pergi menuju benda.

Tegur sapa sepanjang jalan setapak adalah orkestra kemanusiaan yang alami, sedangkan tegur sapa sepanjang jalan raya adalah orkestra manipulatif. Jalan raya terus menyedot nilai kolektivitas manusia sehingga sekali kelak ia menjadi manusia pemburu kepentingan.
Dan kita pergi kian jauh dan menjauh dari kampung halaman, yang terus mewanti kita tentang hakikat hidup, hakikat semesta, dan hakikat manusia.

Mungkin terlalu mudah jatuh dalam pangkuan teknologi dan peradaban modern menyedot kolektivitas dan peradaban primordial hingga status kita menjadi manusia rongsokan. Kita hanya menjadi suku cadang teknologi dan terlalu kerasan berhala kepadanya. Akhirnya, kita apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa komunikasi semuka. Dunia cuma seluas layar HP dan direngkuh di ujung jari.

Sering, kita lebih banyak diam, menunduk dan senyum-senyum sendiri. Dan dari perbukitan nun jauh, suara sayup terus mewanti: Nak, engkau terlalu jauh pergi meninggalkan dirimu, tanpa mawar dan mazmur di tangan.

(Artikel ini pernah dimuat di media BaPuSe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *