Jakarta, Owntalk.co.id – Di tengah perkembangan dunia yang terus berlangsung, kita harus memahami bahwa pembangunan tidak selalu berwujud dalam bentuk gedung megah atau teknologi canggih. Terkadang, hal-hal sederhana, seperti kelapa sawit, dapat menjadi pondasi utama bagi kemakmuran dan perkembangan suatu negara, tergantung pada bagaimana masyarakat memandangnya.
Dalam konteks ini, Ketua Umum Yayasan Pusat Pentaheliks Ilmuwan Pertanian Indonesia, Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP, menyoroti salah satu kesimpulan penting dari Focus Group Discussion (FGD) yang berfokus pada tema yang sangat relevan, yaitu “Pembentukan Sikap Positif Masyarakat Indonesia Terhadap Industri Kelapa Sawit Melalui Sistem Pendidikan yang Berkelanjutan.”
Ia mengungkapkan bahwa kelapa sawit memiliki keunggulan yang signifikan dan memberikan kontribusi penting pada perekonomian Indonesia. Keunggulan kelapa sawit termanifestasi dalam berbagai aspek, mulai dari daya saing hingga kualitas yang lebih baik, produktivitas yang lebih tinggi, dan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Hal ini menjadi fokus utama dalam diskusi FGD yang digelar di Bogor pada Kamis (2/11/2023).
Indonesia, yang diberkahi dengan keindahan alamnya, merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit bukanlah sekadar bahan ekspor biasa; sebaliknya, hal ini menjadi tulang punggung ekonomi negara.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa kontribusi kelapa sawit dalam rantai distribusi mencapai 6-7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Produksi minyak kelapa sawit menurut data GAPKI tahun 2022 mencapai 51,2 juta ton, dengan sebagian besar ditujukan untuk ekspor, mencapai 33,9 juta ton.
Terdapat 10 sentra produksi kelapa sawit di Indonesia yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan, termasuk Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, dan Kalsel.
Meskipun keunggulan minyak kelapa sawit sering dianggap sebagai ancaman bagi minyak nabati lainnya, memicu persaingan sengit dan tindakan yang berusaha menekan pertumbuhannya di Indonesia, salah satu tantangan utama saat ini adalah kampanye negatif dan kebijakan hambatan perdagangan terhadap minyak kelapa sawit.
Kampanye negatif ini sering kali menyoroti isu-isu lingkungan dan sosial, yang dapat menciptakan stigma negatif di sebagian masyarakat Indonesia.
Contohnya, kasus ujian sekolah di Provinsi Riau pada tahun 2021 banyak menciptakan isu kelapa sawit. Jika stigma ini tidak ditangani, dapat merugikan industri kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang.
Paristiyanti menekankan peran kunci para pendidik dalam menanamkan sikap positif terhadap kelapa sawit sejak usia dini. Pendekatan ini melibatkan guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan berbagai tenaga pendidik lainnya yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Daya Mitra Bersama Global (DMB Global) dan seorang ahli psikologi, Benny Bernardus, menjelaskan bahwa pembentukan sikap positif terhadap kelapa sawit perlu memperhitungkan tiga kondisi utama.
Pertama, pembentukan sikap positif harus dimulai sejak usia dini, ketika pikiran masih terbuka dan belum terpengaruh oleh kampanye negatif tentang kelapa sawit. Kedua, pada kondisi di mana seseorang telah mendapatkan informasi negatif tentang kelapa sawit, dan perlu mengalami perubahan sikap. Ketiga, pembentukan sikap positif harus melibatkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai ahli terkait.
“Inilah alasan kami, Yayasan Pusat Pentaheliks Ilmuwan Pertanian Indonesia dan DMB Global, dengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, untuk bekerja sama dalam menyelenggarakan FGD dengan tema “Pembentukan Sikap Positif Masyarakat Indonesia Terhadap Sawit Melalui Sistem Pendidikan yang Berkelanjutan.” Acara ini merupakan langkah penting dalam menyelesaikan tantangan ini.
Tujuan utama acara ini adalah untuk menyatukan persepsi tentang program kerjasama ini, membahas langkah-langkah awal dalam pelaksanaan program, dan mengatur tata laksana serta anggaran dalam implementasi program ini.
“Dalam FGD ini, kami memiliki kehormatan untuk melibatkan para pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang, termasuk ahli dan pakar di bidang industri kelapa sawit, ilmu sosial budaya, lingkungan, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan komunikasi,” kata Benny Bernardus.
Ini adalah langkah pertama yang berani dan terkoordinasi dalam upaya bersama untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang industri kelapa sawit dan membentuk sikap positif di antara masyarakat Indonesia.
Salah satu pembicara dalam FGD, Prof. Dr. Bustanul Arifin, yang juga merupakan anggota Komite Litbang BPDP-KS dan dosen pascasarjana di SB-IPB, menyebutkan bahwa terdapat enam strategi dalam membangun reputasi kelapa sawit Indonesia. Ini termasuk kecermatan dalam kebijakan di dalam negeri, adanya konsumsi biodiesel sawit Uni Eropa yang cenderung turun apabila jika gugatan Indonesia ke Uni Eropa tidak dikabulkan dalam sidang WTO.
Strategi lainnya adalah pencarian pasar CPO baru di Asia Timur, Asia Tengah dan lain-lain, pendampingan dan pemberdayaan petani untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, promosi kelapa sawit sebagai investasi masa depan, benchmark untuk membangun diplomasi “sawit baik” melalui benchmark kepada Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE CEPA).
“Kita harus menjaga ketahanan Industri sawit dengan melakukan berbagai program yang dapat memberikan sikap positip terhadap masyarakat melalui sistem pendidikan yang berkelanjutan,” ungkapnya.