Jakarta, Owntalk.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah saat ini sedang mengupayakan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan sebagai respons terhadap tantangan di sektor kesehatan.
Tim Kawal RUU Kesehatan menyatakan bahwa proses penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi.
Organisasi profesi telah terlibat sejak perencanaan awal RUU tersebut pada tahun 2022. Informasi lebih lengkap tentang undang-undang dan RUU tersebut dapat ditemukan di situs web Dewan Perwakilan Rakyat (https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/319).
Selain itu, terdapat serangkaian hearing dari Maret hingga April 2023 dan pembahasan di Panja Komisi IX DPR.
Perlu dicatat bahwa tidak ada sentralisasi wewenang di Kementerian Kesehatan. RUU ini juga mencabut kewenangan terkait rekomendasi izin praktik (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Pemerintah juga melakukan upaya untuk menyederhanakan prosedur, seperti pembuatan STR hanya sekali seumur hidup dan perpanjangan SIP setiap 5 tahun.
Dalam konteks rekomendasi SIP, penting untuk diketahui bahwa tidak ada negara di dunia yang memberikan wewenang pemberian rekomendasi SIP kepada Organisasi Profesi (OP).
Peran OP sebagai mitra pemerintah dalam program-program kesehatan tidak akan dihapuskan.
OP tetap eksis dan independen dalam menjaga martabat profesi, merangkul anggotanya untuk berkontribusi kepada masyarakat, serta melindungi dan meningkatkan kompetensi.
Pemerintah mengusulkan wahana hospital based dalam pendidikan kedokteran, sebagai tambahan dari sistem university based yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dokter spesialis hingga ke daerah terpencil di Indonesia.
Berbagai langkah telah diambil, termasuk pemberian 2.500 beasiswa untuk spesialis dan subspesialis, mendorong Pemerintah Daerah untuk menganggarkan beasiswa, insentif bagi tenaga kesehatan, serta infrastruktur dan sarana prasarana hospital/collegium based untuk mendukung putra-putri daerah.
RUU Kesehatan tidak mengkriminalisasi tenaga kesehatan (nakes). Sebaliknya, RUU tersebut akan meningkatkan jaminan perlindungan hukum bagi nakes, terutama dalam hal kekerasan fisik dan verbal yang mungkin mereka hadapi.
Denda yang dikenakan kepada pelaku kekerasan juga dikurangi menjadi 10% (kategori 2) dari jumlah sebelumnya, yaitu Rp100 juta menjadi Rp10 juta.
Selain itu, RUU ini lebih memprioritaskan penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi dan pendekatan keadilan restoratif.
RUU Kesehatan juga menjamin kualitas moral dan etika yang tinggi bagi tenaga kesehatan, dengan pengawasan langsung oleh perintah. Di mana selama ini OP seringkali menerapkan standard ganda soal etika dan moral.
“Hal itu terlihat bahwa OP ikut mengiklankan dan bekerjasama dengan produk-produk minuman mineral dan sufor serta banyaknya isu seputar kerjasama nakes dengan pabrik obat,” demikian keterangan Tim Kawal RUU Kesehatan.
Kemudian, RUU Kesehatan pun memberikan jaminan bahwa tenaga kesehatan asing atau tenaga kesehatan yang lulus dari Universitas LN mendapatkan proses adaptasi yang transparan, berlapis, dan akuntabel.
Selama ini banyak dokter “anak bangsa” yang lulus dari Universitas LN, tidak bisa praktek akibat tidak transparan dan akuntabelnya proses adaptasi.
Semua yang dilakukan dalam penyusunan RUU tersebut semata-mata untuk masyarakat agar mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas.