Jakarta, Owntalk.co.id – Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2021 mengungkapkan fakta yang mengejutkan: sebanyak 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia menjadi korban sunat perempuan atau Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP).
Temuan ini menguatkan data yang sebelumnya dipublikasikan oleh UNICEF pada 2015, di mana Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalankan praktik berbahaya ini.
Menurut UNICEF, 49 persen anak perempuan di Indonesia yang berusia 0-11 tahun telah menjalani prosedur sunat perempuan, menempatkan Indonesia di posisi ketiga setelah Mali (73 persen) dan Mauritania serta Gambia (masing-masing 51 persen).
Fakta ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sunat perempuan secara internasional telah didefinisikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan mengancam kesehatan serta integritas perempuan.
Dalam sebuah pertemuan nasional di Jakarta (26/9), Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu, menegaskan bahwa praktik sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan yang berdampak serius terhadap kesehatan perempuan.
“Sebanyak 200 juta anak perempuan di 30 negara telah menjalani sunat perempuan. Indonesia berada di peringkat ketiga dalam praktik ini. Dampaknya sangat merugikan, bahkan bisa berujung pada kematian,” ungkapnya.
Sunat perempuan di Indonesia umumnya dilakukan pada usia yang sangat dini, sehingga banyak perempuan tidak menyadari dampak buruknya hingga dewasa.
Berbeda dengan khitan pada laki-laki yang memiliki standar prosedur medis, sunat perempuan dilakukan tanpa standar yang jelas dan sering kali dalam kondisi yang tidak higienis. Sayangnya, praktik ini masih marak karena didukung oleh tradisi dan tafsir agama yang salah kaprah.
Dalam SPHPN 2021, ditemukan bahwa ada tiga alasan utama mengapa sunat perempuan masih dilakukan: 68,1 persen karena mengikuti perintah agama, 40,3 persen karena tekanan sosial dari lingkungan, dan 40,3 persen lagi karena dianggap dapat meningkatkan kesuburan.
Meski sudah ada kebijakan resmi untuk menghapus praktik ini, upaya penghapusan sunat perempuan di Indonesia masih menemui banyak hambatan.
Di daerah seperti Gorontalo, misalnya, praktik sunat perempuan masih berlangsung tanpa laporan kepada pihak berwenang, dan lebih dari 57,9 persen masyarakat setempat tidak mengetahui adanya larangan hukum terhadap P2GP.
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah konkret melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam PP ini, disebutkan bahwa praktik sunat perempuan resmi dihapus sebagai bagian dari upaya menjaga ketahanan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.
Lebih dari itu, kebijakan ini juga menggarisbawahi pentingnya edukasi bagi anak-anak, terutama dalam memahami organ reproduksi mereka, perbedaan antara organ reproduksi laki-laki dan perempuan, serta menanamkan perilaku menolak sentuhan yang tidak pantas.
Langkah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi generasi muda dari praktik-praktik yang merugikan kesehatan mereka.
Dengan adanya kebijakan dan upaya edukasi yang kuat, harapannya Indonesia dapat menghapus sepenuhnya praktik sunat perempuan, menjaga hak-hak anak perempuan, serta meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan perempuan di seluruh negeri.