Batas Maksimum Perorangan Boleh Menguasi Tanah, Kalau lebih bisa di Sita

berita terkini batam
ilustrasi sertifikat tanah. (Foto: Owntalk)

Jakarta, Owntalk.co.id – Dalam suatu tulisan yang ditulis oleh Yehuda Abramovitch yang mencoba membahas suatu ajaran dalam Bahasa Latin “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum” yang sudah dianut oleh manusia berabad-abad lamanya.

Secara singkat ia menjelaskan maksud dari ajaran tersebut yaitu bahwa “siapa yang memiliki tanah, maka kepemilikan itu sampai ke langit” atau dapat juga diartikan bahwa “siapa yang memiliki tanah, ia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya (dan di bawahnya) dari surga (sampai neraka)”.

Prinsip ini ada dianut oleh negara Inggris dengan sistem common law, namun prinsip ini dalam implementasinya juga mengalami tantangan dari waktu ke waktu sering dengan berkembangnya jaman dan teknologi. Saat ini misalnya saja dalam urusan penerbangan dan pembangunan kereta bawah tanah, maka sangat sulit untuk membayangkan apabila ajaran ini masih diberlakukan secara mutlak.

Lalu bagaimana dengan aturan di Indonesia ?

Sejak Indonesia merdeka, sudah jelas bahwa prinsip penguasaan sumber daya alam (termasuk tanah) tidak menggunakan prinsip di atas.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas mengatur bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Prinsip-prinsip dasar dari ketentuan Agraria di Indonesia diambil dari hukum adat yang menjunjung kebersamaan. Dalam hukum adat dikenal hak ulayat, dalam hak inipun dikenal hak milik perseorangan. Dalam tingkat yang lebih tinggi, maka hak tertinggi atas sumber daya agraria di Indonesia ada pada Bangsa Indonesia yang disebut sebagai Hak Bangsa Indonesia yang pengaturannya dilakukan oleh Negara berdasarkan pada Hak Menguasai dari Negara.

Indonesia tidak menganut sosialisme yang tidak mengakui hak individu, juga tidak menganut liberalisme yang menjunjung hak individu. Pasal 6 UUPA menentukan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Dalam penjelasan diuraikan bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Juga dijelaskan bahwa hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.

Menurut UU Pokok Agraria, pemilikan dan penguasaan tanah melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 memerintahkan agar pembatasan tersebut diatur. Maka, lahirlah Perppu No. 56 Tahun 1960 yang kemudian disahkan menjadi undang-undang. Berdasarkan ketentuan ini, seseorang atau satu keluarga hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian maksimum 20 hektare, tanpa melihat apakah merupakan sawah atau tanah kering. Kalaupun boleh lebih dari jumlah itu, hanya dapat dibenarkan tambahan 5 hektare atas dasar keadaan daerah yang sangat khusus.

Orang atau keluarga yang memiliki lahan melebihi batas 20 hektare harus melapor ke badan pertanahan/agraria. Perpindahan hak atas tanah pertanian tersebut harus seizing badan pertanahan setempat. Jumlah yang dipindahkan haknya pun tak boleh lebih dari 20 hektare. Kalau dalam pengalihan itu terjadi tindak pidana, maka sesuai ketentuan pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No. 56/Prp/1960, pengalihan itu batal demi hukum. Konsekwensinya, tanah tersebut jatuh kepada negara. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *