Opini  

Relasi Kuasa, Akar Kekerasan Tersembunyi Pada Asisten Rumah Tangga

Intan, ART asal NTT yang dianiaya Majikan dan Rekan sesama ART di Batam.

Oleh: Abdul Salam Ahmad (Amo Bislam)

Kasus dugaan penganiayaan terhadap Intan, seorang Asisten Rumah Tangga (ART) di Batam, yang melibatkan majikannya, Roslina, kembali membuka mata kita pada realitas pahit yang kerap tersembunyi di balik pintu rumah tangga. Ini bukan sekadar insiden kekerasan biasa, melainkan cerminan gamblang dari ketidakseimbangan relasi kuasa yang kerap menjadi pemicu, sekaligus tameng, bagi tindakan kekerasan terhadap ART.

Seperti diungkap kuasa hukum Intan, Kornelis Boli Balawanga, istilah “relasi kuasa yang tidak seimbang” bukan retorika hukum semata. Justru di situlah kunci untuk memahami mengapa kekerasan semacam ini bisa terjadi—dan mengapa pelakunya kerap merasa kebal hukum.

Bagaimana Relasi Kuasa Bekerja?

Sebagian besar ART, termasuk Intan, berada dalam posisi ketergantungan ekonomi dan sosial yang ekstrem pada majikan. Ketergantungan itu membuat posisi tawar mereka amat lemah. Ketakutan kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, atau sekadar penghidupan, membuat banyak ART enggan melawan, apalagi melapor.

Dengan status sosial, kekayaan, dan kendali penuh atas lingkungan kerja, majikan berada dalam posisi kuasa dominan. Kekuatan itu kerap dieksploitasi untuk berbagai bentuk pengendalian: mulai pembatasan komunikasi dengan keluarga, penahanan identitas diri, hingga intimidasi verbal dan fisik.

Dalam kasus Intan, dugaan pemaksaan “makan kotoran anjing dan minum air kloset” menjadi puncak dominasi yang keji. Ini menunjukkan bagaimana seorang majikan merasa memiliki kontrol mutlak atas tubuh dan martabat ART. Pernyataan Kornelis soal modus “meminjam tangan” ART lain—seperti Merlin—untuk melakukan kekerasan atau mengaburkan keterlibatan majikan, juga menegaskan bagaimana relasi kuasa dimanfaatkan sebagai sarana manipulasi. Ketergantungan dan ketakutan ART lain sering dijadikan alat untuk melindungi pelaku utama sekaligus mempersulit proses penegakan keadilan.

Sementara itu, bantahan kuasa hukum Roslina yang menyebut pemberitaan “tidak sesuai fakta” memang bagian dari dinamika pembelaan hukum. Namun, dalam konteks relasi kuasa, langkah itu juga bisa dipahami sebagai upaya mempertahankan dominasi: membentuk narasi publik yang menguntungkan majikan dan mereduksi penderitaan korban.

Ketakutan dan Tembok Penghalang Keadilan

Ketidakseimbangan relasi kuasa tidak hanya menciptakan peluang kekerasan, tetapi juga membangun tembok penghalang bagi ART dalam memperjuangkan hak. Rasa takut, stigma sosial, minimnya akses informasi hukum, dan ketiadaan pendamping yang berpihak, sering kali membuat korban bungkam.

Oleh karena itu, penanganan kasus Intan seharusnya tidak berhenti pada penindakan kekerasan fisik semata. Penegak hukum, lembaga pendamping, dan masyarakat luas perlu memahami serta membongkar lapisan-lapisan relasi kuasa yang menyuburkan praktik kekerasan dan impunitas.

Kasus Intan di Batam menjadi panggilan keras bagi kita semua. Ini bukan sekadar tentang kekejaman seorang majikan, tetapi tentang sistem yang memungkinkan kekejaman itu tumbuh dalam bayang-bayang relasi kuasa yang timpang.

Hanya dengan keberanian membongkar dan mengatasi akar masalah, keadilan bagi Intan—dan ribuan ART lainnya—bisa benar-benar terwujud. Di sanalah marwah kemanusiaan berdiri tegak.

Abdul Salam Ahmad
Pengurus PK-NTT Kota Batam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *