Kemenkes: Kasus Cacar Monyet di Indonesia Capai 88, Mayoritas Varian Clade IIb

Ilustrasi cacar monyet atau monkeypox. (Dok; Shutterstock)

Jakarta, Owntalk.co.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan total 88 kasus cacar monyet atau mpox di Indonesia hingga saat ini. Sebagian besar kasus terdeteksi di DKI Jakarta dengan 59 kasus, diikuti oleh Jawa Barat dengan 13 kasus, Banten 9 kasus, Jawa Timur 3 kasus, Daerah Istimewa Yogyakarta 3 kasus, dan Kepulauan Riau 1 kasus.

Plh. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Yudhi Pramono, menjelaskan bahwa dari 88 pasien, 54 di antaranya telah menjalani whole genome sequencing (WGS) untuk mengidentifikasi varian virus yang menginfeksi mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya terinfeksi oleh varian mpox clade IIb.

“Semua dari 54 kasus tersebut disebabkan oleh varian clade IIb, yang dikenal sebagai penyebab utama wabah mpox sejak tahun 2022. Varian ini memiliki tingkat fatalitas yang lebih rendah dan umumnya ditularkan melalui kontak seksual,” ungkap Yudhi dalam pernyataan resmi yang dikutip pada Kamis (22/8).

Dari keseluruhan kasus, 87 pasien telah dinyatakan sembuh, menunjukkan tingkat pemulihan yang cukup tinggi.

Untuk diketahui, virus mpox memiliki dua clade utama, yakni clade I yang berasal dari Afrika Tengah (Congo Basin) dan clade II dari Afrika Barat. Clade I, terutama subclade Ia, memiliki tingkat fatalitas yang lebih tinggi dan dapat ditularkan melalui beberapa mode transmisi, termasuk kontak seksual.

Sebaliknya, clade II yang terdiri dari subclade IIa dan IIb, memiliki tingkat fatalitas yang lebih rendah, dengan sebagian besar kasus juga ditularkan melalui kontak seksual.

Dr. Prasetyadi Mawardi, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), menegaskan bahwa varian clade I belum terdeteksi di Indonesia. “Hingga kini, semua kasus di Indonesia disebabkan oleh varian clade II,” kata Dr. Prasetyadi.

Mpox adalah infeksi virus yang menyebabkan gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan ruam yang dapat muncul di berbagai bagian tubuh. Ruam ini berkembang menjadi lepuh yang dapat terasa gatal atau nyeri, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi kulit sekunder, pneumonia, infeksi mata, hingga sepsis.

Kelompok dengan risiko tinggi, seperti anak-anak, ibu hamil, dan individu dengan sistem imun yang lemah, memiliki risiko lebih besar untuk mengalami komplikasi yang berpotensi fatal.

Dr. Prasetyadi menyarankan siapa pun yang mengalami gejala mpox untuk tidak memanipulasi lesi pada kulit, seperti memencet atau menggaruk, karena tindakan ini dapat meningkatkan risiko penularan.

Selain itu, pasien juga disarankan untuk tidak berbagi barang-barang pribadi seperti handuk dan pakaian.

Kementerian Kesehatan telah mengambil langkah-langkah proaktif dalam menangani wabah ini, termasuk peningkatan surveilans di seluruh fasilitas kesehatan, penyelidikan epidemiologi bersama komunitas dan mitra HIV/AIDS, serta menetapkan 12 laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mpox dan WGS.

Pemerintah juga telah menyiapkan terapi simtomatis berdasarkan tingkat keparahan gejala. Pasien dengan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan dari puskesmas setempat, sementara pasien dengan gejala berat harus dirawat di rumah sakit.

Sebelumnya, pada 15 Agustus 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan mpox sebagai darurat global setelah menyebar ke berbagai negara, baik di kalangan dewasa maupun anak-anak.

“Ini adalah ancaman serius yang memerlukan perhatian global. Potensi penyebaran lebih lanjut, baik di dalam Afrika maupun ke luar, sangat mengkhawatirkan,” ujar Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dikutip dari Associated Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *