Jakarta, Owntalk.co.id – Sejak November 2023, aksi boikot terhadap produk-produk Israel atau perusahaan yang memiliki afiliasi dengan negara tersebut semakin menggema di seluruh dunia.
Gerakan ini tak hanya marak di negara-negara Barat dan Timur Tengah, tetapi juga mendapat sambutan hangat di Indonesia. Namun, meski seruan boikot ini semakin nyaring terdengar, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan peningkatan signifikan dalam impor Indonesia dari Israel.
Berdasarkan data BPS, impor Indonesia dari Israel secara kumulatif pada periode Januari hingga Juli 2024 mencapai USD 39,99 juta atau setara dengan Rp 627,99 miliar (asumsi kurs Rp 15.703 per dolar AS).
Angka ini menunjukkan lonjakan tajam jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana impor dari Israel hanya mencapai USD 12,08 juta atau sekitar Rp 189,7 miliar. Peningkatan ini terjadi di tengah meningkatnya seruan boikot produk-produk Israel di berbagai kalangan.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Pusat BPS pada Kamis (16/8), menjelaskan bahwa impor terbesar Indonesia dari Israel terdiri dari produk mesin dan peralatan mekanis (HS 84), perkakas dan peralatan dari logam tidak mulia (HS 82), serta mesin elektrik dan perlengkapannya (HS 85).
Produk-produk ini merupakan kebutuhan industri yang mungkin sulit dihindari, meskipun seruan boikot terus menggema.
“Namun demikian, perlu saya catat bahwa impor dari Israel ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total impor Indonesia secara keseluruhan,” ujar Amalia, mencoba meredam kekhawatiran akan dampak besar dari peningkatan ini.
Lebih lanjut, data BPS menunjukkan nilai impor Indonesia dari Israel pada Juli 2023 tercatat sebesar USD 1,7 juta. Nilai ini mengalami peningkatan pada Juni 2024 menjadi USD 2,7 juta, sebelum sedikit turun menjadi USD 2,02 juta pada Juli 2024.
Meskipun demikian, tren peningkatan impor ini tetap menjadi perhatian, terutama di tengah situasi geopolitik yang kian memanas.
Di sisi lain, Indonesia juga tercatat masih melakukan ekspor ke Israel. Pada Juli 2024, nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai USD 16,24 juta, naik sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar USD 15,95 juta.
Komoditas ekspor terbesar Indonesia ke Israel meliputi lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), beberapa produk kimia (HS 38), dan alas kaki (HS 64).
Amalia menambahkan bahwa meskipun ada peningkatan, ekspor Indonesia ke Israel hanya mengalami kenaikan tipis secara bulanan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya boikot dan berbagai tekanan internasional, hubungan dagang antara kedua negara masih terus berlangsung, meskipun dalam skala yang relatif kecil.
Dalam konteks yang lebih luas, data ini menunjukkan kompleksitas hubungan ekonomi dan perdagangan internasional, di mana seruan boikot dan tekanan politik sering kali berhadapan dengan kebutuhan ekonomi dan industri yang tidak dapat dihindari.
Meski gerakan boikot Israel semakin meluas, Indonesia tampaknya masih mempertahankan hubungan dagang dengan negara tersebut, baik dari sisi impor maupun ekspor.
Ke depan, akan menarik untuk melihat bagaimana dinamika ini berkembang, terutama jika tekanan internasional semakin kuat dan lebih banyak negara serta perusahaan bergabung dalam gerakan boikot.
Namun, untuk saat ini, data menunjukkan bahwa meskipun ada upaya boikot, perdagangan antara Indonesia dan Israel masih berjalan, meski dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain.
Situasi ini juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara prinsip moral dan kebutuhan ekonomi, sebuah tantangan yang sering dihadapi oleh banyak negara dalam era globalisasi ini.