Polri Apps
banner 728x90

Saksi Ahli Sebut Perobohan Hotel Purajaya Perbuatan Melawan Hukum

Hendri Firdaus.

Batam, Owntalk.co.id – Saksi ahli dalam sidang perobohan gedung hotel Pura Jaya, yakni Mantan Kepala Sub Direktorat Pertanahan dan Kawasan Khusus, Hendri Firdaus, SH, menegaskan perobohan gedung hotel Pura Jaya tidak sah secara hukum. Pasalnya, pemilik gedung, yakni PT Dhani Tasha Lestari (DTL) masih memiliki hak prioritas atas tanah, dan kenyataannya masih ada upaya hukum untuk mempertahankan tanah itu.

”Pemilik bangunan gedung hotel Pura Jaya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, masih memiliki hak prioritas yang tidak dibatasi oleh waktu. Hak prioritas itu antara lain untuk memperpanjang sewa tanah (UWT-Uang Wajib Tahunan) yang diperkuat oleh Sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Saya jamin BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak akan mencabut HGB sebelum adanya kekuatan hukum atas sengketa di atas tanah yang bersangkutan,” kata Saksi Ahli Kasus Perobohan Gedung Hotel Pura Jaya, Hendri Firdaus, Selasa, 6/8/2024.

Pada Peraturan Pemerintah RI nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pada pasal 37 ayat (4) disebut: Tanah yang Dikuasai Langsung oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan enam alasan.

Enam alasan itu yakni: a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum; f. sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan g. keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.

Dasar yuridis itu, menurut Hendri Firdaus, sangat kuat untuk membatalkan pengalokasian tanah kepada pihak ketiga, dalam kasus Hotel Pura Jaya, adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP). ”Penyewa baru harus memastikan bahwa kewajiban PBB (Pejak Bumi dan Bangunan) telah dialihkan kembali kepada BP (Badan Kawasan Batam), untuk seterusnya dialihkan kepada penerima alokasi. Jika tidak, berarti masih ada persoalan hukum. Harusnya, ditunda dulu pengambil-alihan tanah sampai clear secara hukum,” ucap Hendri Firdaus.

Menurut penjelasan Hendri Firdaus, jika ada perusahaan yang menginginkan pengelolaan tanah, harus terjadi pengalihan tanah yang clear secara hukum. Harusnya BP Batam lebih dulu memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang bebas dari pihak ketiga. HPL, menurutnya, tidak otomaris milik BP Batam. Ada pihak lain yang telah memiliki HPL tanah, dan jika pemilik tanah yang telah mengelola tanah itu diam saja (pun), hanya tidak bisa begitu saja hilang. Sebab pengelola lahan, dalam hal ini PT DTL memiliki hak prioritas.

Gedung Hotel Purajaya saat dirobohkan 21 Juni 2023

Terbukti Melawan Hukum

Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan saksi ahli dari tergugat PT LMS dan PT PEP, terungkap saksi mengakui gedung Hotel Pura Jaya adalah milik PT DTL, sehingga secara tidak langsung mengakui tindakan perobohan merupakan perbuatan melawan hukum. Dampaknya, pemilik gedung Hotel Purajaya yang dirobohkan pada 21 Juni 2023, yakin gugatan perbuatan melawan hukum atas perobohan hotel bakal dikabulkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam.

”Dalam pemeriksaan saksi pada Selasa lalu, saksi memperkuat dalil yang kami ajukan, yakni (perobohan itu) adalah tindakan illegal. Saksi yang dihadirkan pihak tergugat mengakui gedung hotel Pura Jaya adalah milik PT DTL (Dhani Tasha Lestari). Seharusnya tidak dapat dirobohkan begitu saja karena tanah tempat berdiri bangunan masih dalam sengketa, dan fisik gedung dan perabotannya adalah milik klien kami,” kata Kuasa Hukum PT DTL, Sayuti, SH, MH, kepada wartawan, di Batam.

Perusakan, apalagi perobohan gedung, kata Sayuti, merupakan tindakan melawan hukum sebab pemilik gedung tidak memberi persetujuan, maka seharusnya ditempuh melalui jalur penetapan pengadilan. ”Nilai gedung itu bukan Rp200.000 atau Rp300.000, tetapi ditaksir mencapai setidaknya Rp350 miliar. Aset sebesar itu, dalam rangka investasi, bukanlah perkara mudah untuk dirobohkan begitu saja,” ucap Sayuti.

Dalam sejumlah persidangan yang telah dilalui, kata Sayuti, saksi-saksi di persidangan membenarkan gedung hotel Pura Jaya adalah milik klien-nya. Anehnya, pihak yang merobohkan gedung, yakni PT Lamro Matua Sejati (LMS), dan pihak yang meminta perobohan, yakni PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), tanpa hak melakukan perobohan. Tindakan tanpa dasar hukum itu, kata Sayuti, dilindungi oleh pihak terkait, yakni Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Ratusan personil yang tergabung dalam Tim Terpadu yang dibentuk oleh Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, dikerahkan ke hotel Pura Jaya agar melindungi aksi perobohan. Tim Terpadu terdiri dari Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Batam, Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam, Kepolisian, dan TNI Angkatan Darat, Laut, Udara.

Seyogyanya Tim Terpadu dibentuk untuk menertibkan bangunan liar di atas lahan-lahan yang digarap oleh warga. Namun kenyataannya, Tim Terpadu ditugaskan untuk mengawal perobohan gedung hotel Pura Jaya yang masih bersengketa. Dalam persidangan, saksi yang mengawal tindakan perobohan tidak dapat menjawab pertanyaan Kuasa Hukum PT DTL tentang landasan Surat Keputusan penugasan anggota Tim Terpadu itu. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *