Pemerintah dan masyarakat Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah, menunjukkan komitmen kuat untuk menjaga kelestarian lingkungan di lereng Gunung Slamet.
Langkah nyata yang mereka ambil meliputi reboisasi dan penerapan aturan ketat terhadap perusakan tanaman di sekitar mata air, sebagai bagian dari upaya melestarikan alam dan budaya setempat.
Pada Sabtu (13/7/2024), ribuan warga dari seluruh rukun tetangga di Desa Serang berkumpul dalam kirab budaya, mengenakan baju adat lurik khas Banyumasan.
Mereka membawa gunungan hasil bumi dan menampilkan atraksi kesenian sebagai bagian dari prosesi pengambilan air dari Tuk (mata air) Sikopyah, sebuah acara puncak dari Festival Gunung Slamet (FGS) VII 2024 yang berlangsung dari 12 hingga 14 Juli.
Prosesi ini dimulai dengan doa dan pelepasan peserta dari Dusun Kaliurip, Desa Serang. Rombongan yang terdiri dari 70 pria dan 70 wanita membawa lodong (tempat air dari bambu) menuju Tuk Sikopyah yang berjarak sekitar satu kilometer.
Sesampainya di mata air, sesepuh masyarakat memimpin doa sebelum air dimasukkan ke dalam lodong. Air tersebut kemudian diarak kembali ke Dusun Kaliurip dan selanjutnya ke Objek Wisata D’Las (Desa Wisata Lembah Asri) Serang, diiringi masyarakat yang membawa 48 gunungan berisi hasil bumi.
Di D’Las Serang, ribuan pengunjung menyambut kedatangan rombongan dan bersiap berebut gunungan hasil bumi serta air Tuk Sikopyah. Sebelum acara berakhir, dilakukan penyerahan air Tuk Sikopyah kepada jajaran pemerintahan Kabupaten Purbalingga, dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit singkat dan doa bersama.
Kepala Desa Serang, Sugito, menjelaskan bahwa tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah telah dilakukan secara turun-temurun sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah alam serta sebagai pengingat untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan.
Tuk Sikopyah, salah satu mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet, menjadi sumber kehidupan bagi warga Desa Serang dan sekitarnya. Pemerintah Desa Serang bersama masyarakat berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan dengan menerapkan sanksi bagi perusakan tanaman di sekitar mata air.
Mata air Sikopyah memiliki nilai keramat berkat legenda Kiai Mustafa, seorang ulama yang berperan dalam menyebarkan Islam di kaki Gunung Slamet. Menurut cerita, Kiai Mustafa sempat bertapa di dekat sumber mata air tersebut.
Suatu ketika, ia berwudu dengan air dari mata air itu, melepas kopiah untuk mengusap rambutnya, tetapi kemudian lupa mengambil kembali kopiah tersebut. Kopiah yang hilang itulah yang kemudian memberikan nama pada mata air tersebut, Sikopyah.
Legenda ini berdampak positif terhadap kelestarian mata air Sikopyah, melindunginya dari eksploitasi berlebihan oleh manusia. Tradisi Tuk Sikopyah kini menjadi bagian dari pengembangan ekonomi kreatif Desa Serang dan menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Purbalingga.
Festival Gunung Slamet yang dimulai pada 2015 telah mengangkat tradisi budaya dan potensi wisata setempat kepada publik yang lebih luas. Desa Wisata D’Las Serang kini telah menjadi sumber pendapatan masyarakat dengan aset mencapai Rp30 miliar dan menawarkan berbagai wahana rekreasi, mulai dari kolam renang hingga perkebunan stroberi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno saat membuka Festival Gunung Slamet VII menyampaikan keinginan untuk meningkatkan perhelatan ini menjadi kegiatan berstandar internasional.
Festival ini telah masuk dalam agenda Kharisma Event Nusantara (KEN) yang merupakan kalender atraksi pariwisata dan budaya Kementerian Parekraf.
Dengan langkah-langkah strategis dan komitmen kuat masyarakat, Festival Gunung Slamet tidak hanya menjadi simbol rasa syukur, tetapi juga wujud nyata pelestarian alam dan budaya lokal, serta potensi pengembangan ekonomi kreatif di Desa Serang.