Jakarta, Owntalk.co.id – Pengadilan tertinggi PBB, Mahkamah Internasional (ICJ), pada Jumat (19/7/2024) memutuskan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun adalah ilegal dan harus segera diakhiri.
“Pengadilan telah memutuskan bahwa kehadiran Israel yang terus berlanjut di Wilayah Palestina adalah ilegal,” kata Hakim Ketua ICJ Nawaf Salam, dikutip dari AFP.
ICJ menambahkan bahwa Israel berkewajiban untuk segera menghentikan semua kegiatan permukiman baru dan mengevakuasi semua pemukim dari tanah Palestina yang diduduki.
“Israel harus mengakhiri pendudukan secepat mungkin,” tambah Nawaf Salam, membacakan hasil penyelidikan panel yang beranggotakan 15 hakim.
Kebijakan dan praktik Israel, termasuk pembangunan permukiman baru dan pemeliharaan tembok pemisah antara kedua wilayah, dijelaskan sebagai wujud pencaplokan sebagian besar wilayah pendudukan.
Dalam kasus terpisah yang diajukan oleh Afrika Selatan, Israel juga dituduh melakukan tindakan genosida selama serangannya ke Gaza.
Pada akhir 2022, Majelis Umum PBB meminta ICJ untuk memberikan “pendapat penasihat” tentang konsekuensi hukum dari kebijakan dan praktik Israel di Wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. ICJ mengadakan sidang selama satu minggu pada Februari untuk mendengarkan pengajuan dari berbagai negara yang sebagian besar mendukung permintaan PBB tersebut.
Sebagian besar pembicara menyerukan kepada Israel untuk mengakhiri pendudukannya yang telah berlangsung selama 57 tahun, memperingatkan bahwa pendudukan yang berkepanjangan menimbulkan “bahaya yang sangat besar” bagi stabilitas di Timur Tengah dan sekitarnya.
Namun, Amerika Serikat menyatakan bahwa Israel seharusnya tidak diwajibkan secara hukum untuk menarik diri tanpa mempertimbangkan “kebutuhan keamanan yang sangat nyata”.
Israel tidak mengambil bagian dalam sidang dengar pendapat lisan, melainkan mengirimkan kontribusi tertulis yang menggambarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pengadilan sebagai “prasangka” dan “tendensius”.
Majelis Umum meminta ICJ untuk mempertimbangkan dua pertanyaan. Pertama, pengadilan harus memeriksa konsekuensi hukum dari apa yang disebut PBB sebagai “pelanggaran yang terus berlangsung oleh Israel terhadap hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri,” yang berkaitan dengan pendudukan, permukiman, dan pencaplokan yang berkepanjangan atas wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967.
Pada Juni 1967, Israel merebut Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dari Yordania, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir setelah perang enam hari. PBB kemudian menyatakan bahwa pendudukan wilayah Palestina adalah ilegal, dan Kairo mendapatkan kembali Sinai di bawah perjanjian damai tahun 1979 dengan Israel.
ICJ juga diminta untuk melihat konsekuensi dari penerapan undang-undang dan tindakan diskriminatif oleh Israel serta memberikan saran mengenai bagaimana tindakan Israel memengaruhi status hukum pendudukan dan apa saja konsekuensinya bagi PBB dan negara-negara lain.
Meskipun keputusan ICJ biasanya bersifat mengikat, dalam kasus ini, pendapatnya tidak mengikat meskipun sebagian besar pendapat penasihat sebenarnya ditindaklanjuti. ICJ sebelumnya telah mengeluarkan pendapat penasehat mengenai legalitas deklarasi kemerdekaan Kosovo dari Serbia pada 2008 dan pendudukan apartheid Afrika Selatan di Namibia.
ICJ juga mengeluarkan pendapat pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa bagian dari tembok yang dibangun oleh Israel di wilayah Palestina yang diduduki adalah ilegal dan harus dirobohkan.
Namun, Israel tidak mematuhi putusan ICJ tersebut dan menolak seruan untuk merelokasi tembok pembatas di sepanjang Garis Hijau, Garis Gencatan Senjata 1949 yang dibuat setelah berakhirnya pertempuran yang mengiringi pendirian Israel setahun sebelumnya.