Ombudsman Kepri: Maladministrasi Antara Lain Tidak Ditemukan Dokumen Pengakuan Kampung Tua

Kepala Ombudsman Perwakilan Kepulauan Riau, Dr Lagat Parroha Patar Siadari.

Batam, Owntalk.co.id – Hasil investigasi Ombudsman RI, ditemukan 4 hal, yakni keberadaan Kampung Tua di Pulau Rempang, status tanah, singkatnya proses penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang, dan pengamanan proyek oleh aparat keamanan telah menimbulkan rasa takut. Untuk itu, Ombudsman RI memberi waktu 30 hari bagi seluruh instansi terkait untuk memberi respon terhadap temuan itu.

”Kami masih terus mengumpulkan data dan informasi yang terkait dengan temuan Ombudsman RI, termasuk masalah jual beli tanah di Rempang. Ini informasi yang penting untuk dapat kami jadikan sebagai data dalam mencari jalan keluar, agar tidak lagi terjadi maladministrasi, serta investasi juga dapat segera terwujud,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Dr Lagat Parroha Patar Siadari, kepada wartawan di sela jumpa pers ORI Perwakilan Kepri, di Batam, Senin, 29/1/2024.

Temuan ORI dijelaskan sebagai berikut: Pertama, keberadaan Kampung Tua di Pulau Rempang yang belum ditemukan dokumen pengakuan keberadaannya, padahal, eksistensi Kampung Tua masih terlihat. Tidak adanya materi muatan tentang kampung tua pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun Kota Batam 2021, berbeda dengan Peraturan Daerah, Keputusan Walikota Batam, dan Makmulat yang terbit sebelumnya. Di samping itu ditemukan tidak optimalnya upaya menetapkan batas dan penerbitan sertipikat atas tanah bagi masyarakat kampung tua. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam melestarikan nilai-nilai sejarah, budaya dan perlindungan masyarakat kampung tua khususnya di Pulau Rempang.

Kedua, status wilayah, tanah dan pengelolaan lahan yaitu yang belum diterbitkan sertipikat hak pengelolaan atas nama BP Batam, sedangkan SK Pemberian Hak Pengelolaannya saat ini masih dalam proses perpanjangan. BP Batam berkewajiban menyelesaikan permasalahan sehingga objek menjadi clear and clean.

Ketiga, penetapan Rempang Eco City sebagai bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) terjadi dalam waktu relatif singkat yaitu berlangsung rentang Mei-Juli 2023 menunjukkan bahwa percepatan pengembangan kawasan Rempang Eco City tidak didukung dengan persiapan yang matang, baik dari regulasi, kebijakan, ketersediaan lahan yang clear and clean maupun kesiapan masyarakat di objek tersebut sehingga muncul penolakan dan konflik.

Keempat, penanganan keberatan dan penolakan masyarakat atas pembangunan kawasan Rempang Eco-City yang meliputi pengamanan oleh aparat keamanan telah menimbulkan rasa takut, tidak aman serta berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian atau pemerintah secara keseluruhan. Sedangkan untuk pemenuhan hak kepada masyarakat terdampak, terdapat Perpres 78 Tahun 2023 sebagai dasar hukum bagi pemberian hak-hak bagi warga terdampak. Akan tetapi Perpres tersebut menyebutkan santunan dan tidak mengatur ganti rugi sehingga tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Ombudsman RI memberikan tindakan korektif kepada pihak terkait dalam pengembangan Kawasan Rempang Eco City, antara lain Badan Pengusahaan Batam, Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment), Pemerintah Kota Batam, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN), dan Kepolisian Negara RI.

Konsesi PT MEG dari BP Batam hingga 2080

Kepada Badan Pengusahaan Batam dan Walikota Batam, saran korektif Ombudsman RI untuk menunda pelaksanaan relokasi bagi masyarakat terdampak sampai dengan adanya kesediaan berdasarkan berdasarkan musyawarah dengan warga yang terdampak dan adanya peraturan operasional yang mengatur secara detail dan pasti berkaitan dengan Pembangunan dan penanganan masalah Rempang Eco City. Menyusun kebijakan yang memastikan terpenuhinya hak-hak dasar warga terdampak baik yang saat ini masih menolak ataupun bagi warga termasuk yang bersedia untuk menempati hunian sementara, serta menghindarkan tindakan–tindakan yang akan memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.

Kepada Kementerian Investasi/BKPM, untuk melakukan koordinasi dengan sejumlah instansi terkait dalam memenuhi hak-hak masyarakat terdampak atas pembangunan kawasan Rempang Eco City dengan mengedepankan penyelesaian secara humanis berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan mengusulkan adanya evaluasi atas penetapan Proyek Strategis Nasional bagi pembangunan kawasan Rempang Eco City kepada Kementerian Koordinator Perekonomian.

Kepada Pemerintah Kota Batam, untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Walikota Batam Nomor KPTS.105/HK/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam untuk memberikan pengakuan wilayah kampung tua di Pulau Rempang.

Kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, untuk memastikan terpenuhinya persyaratan lahan yang clear and clean sebelum memproses permohonan sertipikat HPL maupun persyaratan lainnya oleh pemohon BP Batam dan terkait dengan Rempang Eco City.

Kepada Kepolisian Negara RI, untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan masyarakat dalam berpartisipasi mengemukakan pendapat di muka umum di luar Pengadilan dengan mengedepankan hak asasi manusia. Menyelesaikan perkara yang terkait dengan unjuk rasa tanggal 7 September 2023 dan 11 September 2023 dengan mekanisme restorative justice. Mengedepankan tindakan persuasif dalam penanganan unjuk rasa dan penolakan warga terkait dengan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City.

Adapun temuan hasil investigasi dan Tindakan korektif Ombudsman RI tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang telah disampaikan secara langsung kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah ATR BPN, Supardy Marbun, Anggota BP BATAM, Sudirman Saad, ITWASUM POLRI Irwil V, Brigjen Pol Gatot Tri Suryanta, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kota Batam, Yusfa Hendri, serta Tim Percepatan Pengembangan Investasi Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment) di Kawasan Pulau Rempang. Pada kesempatan tersebut, seluruh instansi berkomitmen menindaklanjuti LHP Ombudsman dalam waktu 30 hari kerja sejak diterimanya LHP. (*)

Exit mobile version