Jakarta, Owntalk.co.id – Pemukiman dan komunitas Pulau Rempang, yang telah hadir sejak tahun 1834, saat ini dihadapkan pada ancaman serius penggusuran. Permasalahan ini bermula sejak tahun 2001, ketika Pemerintah Kota Batam mengajukan rencana pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam. Proyek ini melibatkan undangan kepada pengusaha nasional dan investor dari Malaysia dan Singapura, dengan PTMEG (Grup ArthaGraha milik Tommy Winata) yang dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, dengan opsi perpanjangan hingga 80 tahun. Pada tahun 2007, proyek ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan mendapat penolakan.
Pada bulan Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan panel surya di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City.
Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp. 318 triliun hingga tahun 2080, rencana ini telah menimbulkan keprihatinan serius, khususnya terkait penggusuran warga, termasuk pemukiman asli dan 16 kampung tua yang telah eksis sejak tahun 1834.
Proyek Rempang Eco-City, yang diangkat sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menjadi sorotan karena aspek hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsultasi yang kurang bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Selama ini, dalam banyak pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah sering kali melibatkan mobilisasi aparat yang berlebihan dan berpotensi menghadapkan mereka dengan masyarakat. Terlebih lagi, dalam konteks PSN, pengadaan tanah sering kali dituduh merampas hak atas tanah masyarakat yang belum pernah diberikan oleh pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Hukum & Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam menggusur masyarakat Pulau Rempang demi kepentingan industri swasta.
Pola pelaksanaan kebijakan yang kurang melibatkan konsultasi dan terlalu bergantung pada kekuatan aparat, bahkan hingga terkesan kasar, seperti yang terjadi pada tanggal 7 September 2023, patut mendapat perhatian. Terlihat bahwa pemerintah tengah giat memajukan proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang sudah lama tinggal di Pulau Rempang, jauh sebelum berdirinya Indonesia.
LHKP dan MHHPP Muhammadiyah juga menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang belum pernah digarap.” Faktanya, masyarakat di sana sudah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam terlihat lebih cenderung mendukung kepentingan investor swasta dan kurang peka terhadap hak-hak serta warisan sosial budaya masyarakat setempat yang sudah lama menetap di pulau tersebut.
LHKP dan MHHPP mengkritik penggusuran di Pulau Rempang ini sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945, dinyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta meningkatkan taraf hidup bangsa. Selain itu, negara juga seharusnya mengikuti Pasal 33 yang menetapkan bahwa Bumi dan sumber daya alam di dalamnya
Pemukiman dan komunitas Pulau Rempang, yang telah hadir sejak tahun 1834, saat ini dihadapkan pada ancaman serius penggusuran. Permasalahan ini bermula sejak tahun 2001, ketika Pemerintah Kota Batam mengajukan rencana pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam. Proyek ini melibatkan undangan kepada pengusaha nasional dan investor dari Malaysia dan Singapura, dengan PTMEG (Grup ArthaGraha milik Tommy Winata) yang dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, dengan opsi perpanjangan hingga 80 tahun. Pada tahun 2007, proyek ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan mendapat penolakan.
Pada bulan Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan panel surya di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City. Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp. 318 triliun hingga tahun 2080, rencana ini telah menimbulkan keprihatinan serius, khususnya terkait penggusuran warga, termasuk pemukiman asli dan 16 kampung tua yang telah eksis sejak tahun 1834.
Proyek Rempang Eco-City, yang diangkat sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menjadi sorotan karena aspek hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsultasi yang kurang bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Selama ini, dalam banyak pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah sering kali melibatkan mobilisasi aparat yang berlebihan dan berpotensi menghadapkan mereka dengan masyarakat. Terlebih lagi, dalam konteks PSN, pengadaan tanah sering kali dituduh merampas hak atas tanah masyarakat yang belum pernah diberikan oleh pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Hukum & Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam menggusur masyarakat Pulau Rempang demi kepentingan industri swasta. Pola pelaksanaan kebijakan yang kurang melibatkan konsultasi dan terlalu bergantung pada kekuatan aparat, bahkan hingga terkesan kasar, seperti yang terjadi pada tanggal 7 September 2023, patut mendapat perhatian. Terlihat bahwa pemerintah tengah giat memajukan proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang sudah lama tinggal di Pulau Rempang, jauh sebelum berdirinya Indonesia.
LHKP dan MHHPP Muhammadiyah juga menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang belum pernah digarap.” Faktanya, masyarakat di sana sudah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam terlihat lebih cenderung mendukung kepentingan investor swasta dan kurang peka terhadap hak-hak serta warisan sosial budaya masyarakat setempat yang sudah lama menetap di pulau tersebut.
LHKP dan MHHPP mengkritik penggusuran di Pulau Rempang ini sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945, dinyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta meningkatkan taraf hidup bangsa. Selain itu, negara juga seharusnya mengikuti Pasal 33 yang menetapkan bahwa Bumi dan sumber daya alam di dalamnya
Pemukiman dan komunitas Pulau Rempang, yang telah hadir sejak tahun 1834, saat ini dihadapkan pada ancaman serius penggusuran. Permasalahan ini bermula sejak tahun 2001, ketika Pemerintah Kota Batam mengajukan rencana pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam. Proyek ini melibatkan undangan kepada pengusaha nasional dan investor dari Malaysia dan Singapura, dengan PTMEG (Grup ArthaGraha milik Tommy Winata) yang dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, dengan opsi perpanjangan hingga 80 tahun. Pada tahun 2007, proyek ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan mendapat penolakan.
Pada bulan Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan panel surya di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City. Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp. 318 triliun hingga tahun 2080, rencana ini telah menimbulkan keprihatinan serius, khususnya terkait penggusuran warga, termasuk pemukiman asli dan 16 kampung tua yang telah eksis sejak tahun 1834.
Proyek Rempang Eco-City, yang diangkat sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menjadi sorotan karena aspek hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsultasi yang kurang bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Selama ini, dalam banyak pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah sering kali melibatkan mobilisasi aparat yang berlebihan dan berpotensi menghadapkan mereka dengan masyarakat. Terlebih lagi, dalam konteks PSN, pengadaan tanah sering kali dituduh merampas hak atas tanah masyarakat yang belum pernah diberikan oleh pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Hukum & Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik yang diterapkan pemerintah dalam menggusur masyarakat Pulau Rempang demi kepentingan industri swasta. Pola pelaksanaan kebijakan yang kurang melibatkan konsultasi dan terlalu bergantung pada kekuatan aparat, bahkan hingga terkesan kasar, seperti yang terjadi pada tanggal 7 September 2023, patut mendapat perhatian. Terlihat bahwa pemerintah tengah giat memajukan proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang sudah lama tinggal di Pulau Rempang, jauh sebelum berdirinya Indonesia.
LHKP dan MHHPP Muhammadiyah juga menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang belum pernah digarap.” Faktanya, masyarakat di sana sudah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam terlihat lebih cenderung mendukung kepentingan investor swasta dan kurang peka terhadap hak-hak serta warisan sosial budaya masyarakat setempat yang sudah lama menetap di pulau tersebut.
LHKP dan MHHPP mengkritik penggusuran di Pulau Rempang ini sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945, dinyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta meningkatkan taraf hidup bangsa. Selain itu, negara juga seharusnya mengikuti Pasal 33 yang menetapkan bahwa Bumi dan sumber daya alam di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar. Karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap:
- Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN sebagai mana termaktub di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden juga di desak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.
- Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.
- Mendesak Pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.
- Mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi karena akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis.
- Mendesak KementrianP PN/Bappenas untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi.
- Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang, mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNIAL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak terdampak brutalitas aparat kepolisian, dan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.
- Mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan Hak Asasi Manusia.