Antisipasi Kejahatan Keuangan Digital, OJK Terus Edukasi Masyarakat

Kepala Eksekutif Pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi. (Dok; Tangkapan layar Kanal Youtube FM9ID_IKP)

Jakarta, Owntalk.co.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengidentifikasi bahwa literasi keuangan masyarakat masih rendah. Hal ini mendorong OJK untuk terus memberikan edukasi dan literasi kepada masyarakat guna membantu mereka dalam mengantisipasi dan mengatasi maraknya kejahatan keuangan berbasis digital yang masih terjadi saat ini.

“Tingkat literasi keuangan masyarakat masih belum memadai, dengan literasi keuangan hanya mencapai 49,6%, dan literasi digital hanya sebesar 3,5 dari skala 1 hingga 5. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih perlu meningkatkan pemahaman mereka, terutama dalam membedakan informasi yang benar dan tidak benar. Masyarakat juga masih perlu mengembangkan kemampuan dalam memilih dan memilah informasi,” ungkap Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, dalam diskusi FMB9, Senin (21/8/2023).

Berdasarkan data OJK, hingga 3 Agustus 2023, telah tercatat sebanyak 1.194 praktik investasi ilegal yang berhasil dihentikan. Selain itu, juga ada 5.450 pinjaman online ilegal (pinjol) dan 251 praktik gadai ilegal yang berhasil dihentikan. Jumlah total entitas yang telah dihentikan mencapai 6.895.

OJK juga mencatat bahwa kerugian yang ditanggung masyarakat akibat praktik investasi ilegal selama periode 2017-2022 mencapai Rp139,03 triliun.

Friderica yang akrab disapa Kiki, menjelaskan bahwa kerugian yang dialami masyarakat akibat aktivitas investasi ilegal berasal dari praktik koperasi simpan pinjam, pinjaman online (pinjol), dan praktik gadai ilegal.

Meskipun demikian, Kiki menyatakan bahwa terdapat perkembangan positif dalam sektor keuangan, terutama dalam upaya memberantas kejahatan keuangan berbasis digital, yang diwujudkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

UU P2SK merupakan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui reformasi sektor keuangan di Indonesia.

“Melalui UU No.4/2023 atau UU P2SK, tindakan ilegal dalam kegiatan keuangan diberikan sanksi, termasuk sanksi pidana dengan denda hingga Rp1 triliun dan pidana penjara antara 5-10 tahun. UU P2SK memberikan langkah konkret untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan keuangan ilegal,” tegas Friderica.

Pasal 305 dalam UU P2SK berisi ketentuan pidana terkait perlindungan konsumen. Pasal tersebut menyatakan: “Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Ayat (2) Jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, pidana akan dijatuhkan pada badan hukum tersebut, pihak yang memberi perintah, dan/atau yang memimpin pelanggaran tersebut.”

Kiki menjelaskan bahwa saat ini ada Satgas Waspada Investasi yang melibatkan OJK serta 12 Kementerian/Lembaga lainnya. Namun sebelum UU P2SK ada, Satgas Waspada Investasi belum memiliki daya jera yang cukup kuat terhadap pelaku kejahatan keuangan digital.

“UU P2SK memberikan sinyal yang kuat kepada pelaku kejahatan keuangan digital bahwa tindakan mereka tidak akan ditoleransi, karena undang-undang ini dapat memberikan efek jera,” tambahnya.

Exit mobile version