Polri Apps
banner 728x90

Tersangka Korupsi SIMRS BP Batam Dalam ‘Karung’

Illustrasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). (Grafis: Istimewa)

Batam, Owntalk.co.id – Dua pekan sebelum 2022 berakhir, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam berjanji akan mengumumkan nama tersangka kasus korupsi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang merugikan negara Rp1,888.300.000. Namun, kemudian janji itu di’kebiri’ dengan mengumumkan jumlah tersangka, bukan nama tersangka. Ada indikasi Kejari Batam sedang bernegosiasi dengan para koruptor SIMRS, sehingga yang diumumkan ‘karung’nya, bukan isinya.

Setelah diselidiki selama hampir dua tahun penuh, korupsi Rp1,8 miliar itu akhirnya bergerak maju ke penyidikan beberapa hari sebelum 2022 berakhir. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, Herlina Setyorini, berjanji sebelum 2022 berakhir akan mengumumkan nama tersangka (https://owntalk.co.id/2022/12/29/minggu-depan-kejari-batam-tetapkan-dua-orang-tersangka-kasus-korupsi-simrs-bp-batam/) sebuah prestasi merangkak yang dimiliki Kejari Batam, seperti prestasi dalam kasus makan minum DPRD yang hanya tajam sama mantan Sekretaris Dewan, Asril, tetapi tumpul sama anggota DPRD.

Meski demikian, pengumuman itu membuat mantan Direktur Rumah Sakit Badan Pengusahaan (RSBP) Batam, dr Sigit Riyanto bersama 14 saksi lain yang pernah diperiksa jaksa dalam kasus itu, tidak nyenyak tidur. Tetapi setelah beberapa menit sebelum hari kerja terakhir di 2022, Kejari Batam hanya mengumumkan jumlah tersangka. Maka koruptor yang tentu berada di himpunan dr Sigit Riyanto dan kawan-kawan, dapat nyenyak tidur. ”Uenak jadi koruptor, meski ditetapkan jadi tersangka nggak masalah, karena tidak diumumkan namanya. Saya khawatir nanti sampai ke persidangan akan ditutup dan penjaranya juga disembunyikan itu,” kata Edi, seorang warga Batam Center.

Keluhan warga itu menjadi salah satu indikator suramnya penegakan hukum di Batam, terutama jika menghadapi kasus korupsi yang melibatkan petinggi lembaga negara. Apa alasan yang dibuat oleh Kejari Batam untuk menutupi selubung lambannya penegakan hukum di bidang korupsi terhadap pejabat di kota ini, adalah alasan klasik. ”Prosesnya agak lama, butuh kehati-hatian dan ketelitian. Apalagi untuk menetapkan status tersangka yang diberikan kepada seseorang,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, Herlina Setyorini. Mungkin yang dimaksud Kajari dengan kehati-hatian itu menyangkut waktu 2 tahun, dan meng-‘hidden’ (menyembunyikan) nama koruptor.

Kepala Kejaksaan Negeri Kajari Batam Herlina Setyorini Foto Istimewa

Sebagai gambaran, kita perlu mengetahui apa itu SIMRS. Istilah SIMRS baru muncul sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI nomor 82 tahun 2013 tentang Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang diteken Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi di pertengahan tahun itu. Di pasal 1 ayat 2 Permenkes itu, disebut: SIMRS adalah suatu sistem teknologi informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan.

Sebenarnya wujud SIMRS adalah software yang dapat mengerjakan tugas pengintegrasian antar unit atau komponen yang berkaitan dengan rumah sakit. Dalam pasal 5 ayat 3 Permenkes 82/2013 itu disebut: SIMRS harus memiliki kemampuan komunikasi data (interoperabilitas) dengan (a) Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN); (b) Pelaporan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS); (c) Indonesia Case Base Group’s (INACBG’s); (d) aplikasi lain yang dikembangkan oleh Pemerintah; dan (e) sistem informasi manajemen fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Jika kita perhatikan kronologi tersebut sungguh naif jika Kejari Batam berat hati mengumumkan pelaku korupsi, sehingga harus disembunyikan seperti kucing dalam karung. Syarifah Nurqomar Alattas, seperti pernyataannya pada 09 Agustus 2021 yang ditandatangani di atas materai, menyatakan siap memberikan data kepada aparat penegak hukum (APH) yang berkomitmen untuk menyelesaikan kasus itu, tapi tampaknya Kejari Batam ‘takut’ jika pelaku korupsi kasus itu sampai diumumkan ke publik, sehingga bisa dipermalukan. Mungkin harga diri pelaku korupsi masih jauh lebih mahal bagi Kejari Batam dibanding uang rakyat yang dirampok dengan terang-terangan. Syarifah Nurqomar Alattas, mantan pegawai RS BP Batam

Sebuah perangkat lunak yang dapat saja diprogram oleh satu perusahaan penjual perangkat lunak untuk digunakan di seluruh rumah sakit. Namun, tampaknya Permenkes itu memberikan pilihan mengenai aktualisasinya bagi setiap rumah sakit, apakah akan membangun perangkat lunak sendiri atau tidak. Permenkes hanya memberikan petunjuk dan arahan tujuan, fungsi, dan manfaat SIMRS yang kemudian menjadi kewajiban untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat. Sebuah tujuan mulia, yang jika di’garap’ oleh otak kotor Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), menjadi kesempatan ‘merampok’ uang rakyat.

Kita tahu, bahwa meski RSBP bukanlah rumah sakit pemerintah seperti rumah sakit daerah kota, kabupaten atau provinsi, namun dana yang dihimpun oleh BP Batam untuk membiayai rumah sakit itu berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang juga merupakan uang rakyat. Harusnya dikelola dengan hati-hati dan penuh pengabdian. Tetapi mentalitas para penyelenggara negara di pemerintahan dan lembaga pelayanan seperti BP Batam, tampaknya sama dan sebangun. Pantang ada kesempatan ‘maling’ uang rakyat, langsung di’sikat’ habis.

Seorang mantan pegawai RSBP, Syarifah Nurqomar Alattas, mencurahkan isi hatinya di media online Bernas Jakarta, pada 10 Januari 2022. Dia menceritakan kronologis kasus kasus SIMRS BP Batam yang memakan banyak anggaran BP Batam diawali pada 13 mei 2017 dengan adanya undangan dari RSBP yang membahas evaluasi SIMRS MyHOSPITAL. Pada 02 Agustus 2017 RSBP menyampaikan adanya dukungan IT pada pelayanan rumah sakit. ”Saya dihubungi via telepon oleh bagian PDSI (Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia), sdr Riki Ramadani, yang meminta modul-modul apa saja yang dibutuhkan oleh RSBP dalam membuat TOR,” tulisnya.

Rumah Sakit BP Batam di Sekupang Kota Batam Foto Istimewa

Secara lisan, kata Syarifah, dia menyampaikan langsung modul itu ke Kasubag Iman Hadisuyoso, yang kemudian dirinya diarahkan membuat rekapitulasi kebutuhan RSBP. Kemudian hasilnya disampaikan ke Direktur RSBP dr Sigit Riyanto. ”Beliau instruksi saya untuk membuat dan langsung diberikan ke PDSI tanpa harus approvel beliau. Lalu saya membuat secara garis besar modul-modul yang diperlukan diantaranya Modul Rawat Jalan, Rawat Inap, UGD, ICU/ ICCU, kasir atau billing, pendaftaran, laboratorium, radiologi, keuangan, gizi, loundry, pemulasaraan jenazah, ambulance, rekam medis, gudang farmasi, farmasi atau apotek, kamar operasi, jasa medis dan sterilisasi tanpa spesifikasi khusus berbasis web atau desktop. Saya berikan secara tidak formal ke bagian PDSI,” urai Syarifah.

Singkatnya pada Juli 2020, terjadi pergantian pejabat direktur lama RSBP dr Sigit Riyanto ke direktur baru dr Afdhalun, SpJP. Syarifah dipanggil oleh direktur baru menanyakan kendala SIMRS. Dia menjelaskan tidak ada arahan dan progres sehingga saat ada kendala di lapangan dia menghubungi petugas Informasi Teknologi (IT) PT Exindo di Jogjakarta. Pada Agustus 2020, Kepala BP Batam mengundang pimpinan RSBP di ruang marketing Gedung Batam Industry Development Authority (BIDA) atau BP Batam dengan agenda penyampaian permasalahan yang ada di RSBP. Syarifah hadir, dan dari hasil pertemuan BP Batam setuju mengganti SIMRS dengan vendor lain sesuai dengan permintaan pimpinan RSBP.

Surat Pernyataan kronologis kasus SIMRS yang ditandatangani oleh mantan pegawai RSBP Batam Syarifah Nurqomar Alattas Foto Bernas Jakarta

SIMRS PELNI mulai dioperasikan (running) di RSBP sejak Maret 2021, namun ada beberapa unit yang masih menggunakan SIMRS Exindo, seperti bagian gudang farmasi dan pengadaan obat. Sehingga pada Mei 2021 SIMRS Exindo sudah tidak digunakan lagi untuk penginputan transaksi, namun masih di gunakan oleh RSBP untuk menarik laporan data saja. SIMRS BP Batam tahun anggaran 2020 surat perjanjian penunjukan langsung di tanda tangani oleh Faisal Riza selaku pejabat pembuat komitmen mewakili BP Batam dan Mohammad Kartobi Direktur PT Rumah sakit PELNI.

Jika kita perhatikan kronologi tersebut sungguh naif jika Kejari Batam berat hati mengumumkan pelaku korupsi, sehingga harus disembunyikan seperti kucing dalam karung. Syarifah Nurqomar Alattas, seperti pernyataannya pada 09 Agustus 2021 yang ditandatangani di atas materai, menyatakan siap memberikan data kepada aparat penegak hukum (APH) yang berkomitmen untuk menyelesaikan kasus itu, tapi tampaknya Kejari Batam ‘takut’ jika pelaku korupsi kasus itu sampai diumumkan ke publik, sehingga bisa dipermalukan. Mungkin harga diri pelaku korupsi masih jauh lebih mahal bagi Kejari Batam dibanding uang rakyat yang dirampok dengan terang-terangan.

Sikap Kejari Batam ini sangat melukai rakyat, karena kasusnya seharusnya telah terang benderang. Berdasarkan penjelasan Kejari Batam sebelumnya, kasus korupsi di SIMRS BP Batam bermula dari pengadaan aplikasi SIMRS tahun 2018 lalu dengan nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 3 miliar. Pada 5 April 2018, panitia lelang mengumumkan lelang pengadaan aplikasi SIMRS BP Batam. Pada 30 April 2018, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan PT Sarana Primadata menandatangani kontrak pengadaan aplikasi senilai Rp 2.673.000.000.

Pembayaran yang dilakukan BP Batam ke PT Sarana Primadata pun telah dilakukan 100 persen yakni Rp 2.673.000.000. Selanjutnya PT Sarana Primadata bekerjasama dengan subkontrak PT Exindo Information Technology. Pekerjaan yang disubkontrakkan PT Sarana Primadata itu adalah pekerjaan utama yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan yang nilai kontraknya sebesar Rp 1.250.000.000. Tindakan itu telah melanggar pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH Pidana juncto Pasal 65 ayat 1 KUH Pidana dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH Pidana juncto Pasal 65 ayat 1.

Jika demikian, kenapa Kejari lebih sayang sama nama baik koruptor dibanding dengan kerugian negara yang merupakan uang rakyat? Hanya Kejari dan Tuhan yang tahu. Rakyat hanya bisa berharap dan menunggu keberanian Kejari mengungkap nama pelaku kejahatan yang ‘merampok’ uang rakyat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *