Stasiun MRT
Perasaan nyaman sudah kami nikmati pada waktu memarkir mobil di areal parkir Lebak Bulus. Lalu menyelusuri koridor menuju stasiun MRT. Saya merasakan seperti waktu pertama kali mencoba naik subway (sabuai, lidah orang Jepang) di Tokyo tahun 1985.
Tahapan demi tahapan kami lalui mengikuti protokol menaiki MRT. Jakarta ternyata bisa “dibuat” seperti di luar negeri. Bayangan yang melekat seperti waktu berebut naik bus kota di lapangan Banteng, puluhan tahun lalu, sirna seketika. Kartu e-toll, yang dipesankan agar dibawa, ternyata betul, terkoneksi, atau bisa digunakan saat masuk stasiun MRT. Tinggal ” tap”. Meski waktu masuk dan keluar saya mengulang tapnya. Portal gate, menolak. Saya curiga, jangan- jangan kartu etoll saya yang kurang saldo.
Karena perjalanan di masa pandemi, maka beberapa tambahan protokol harus dilalui memasuki stasiun. Pertama, tap hp dulu di aplikasi Pedulilindungi. Lalu, cuci tangan dan ukur suhu badan. Beruntung, karena libur hari Minggu, gerbong MRT agak sepi. Menurut petugas di sana, jumlah penumpang memang berkurang sampai 50 % pada hari libur atau minggu, dibandingkan hari kerja.
Layanan MRT Jakarta dioperasikan oleh PT MRT Jakarta (Perseroda), badan usaha milik daerah DKI Jakarta. Jalur yang telah beroperasi saat ini sepanjang 15,7 km yang menghubungkan Stasiun Lebak Bulus dengan Stasiun Bundaran HI.
Ide Habibie
Sekedar kilas balik, pembangunan MRT di Jakarta dicetuskan tahun 1985 oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi saat itu, B. J. Habibie.
Karena agak lengang kami leluasa memilih tempat duduk yang berhadap-hadapan untuk sekeluarga. Sehingga, kami dapat mengawasi 3 R, tiga cucu( Rania, Raihan, dan Raisha) selama perjalanan.
Halaman selanjutnya…