Kerinci dikenal dengan keindahan alam yang menakjubkan. Danau Kerinci, Gunung Kerinci serta juga dikenal dengan Kebun Teh tertinggi di Asia Tenggara. Tidak hanya keindahan alam, namun Kerinci juga kaya akan sumber daya alamnya. Tanah yang subur membuat rata-rata penduduk disana bercocok tanam. Begitupula halnya dengan orang tua Zul.
Keluarga Zul memiliki ladang yang ditanami kayu manis dan kopi untuk tanaman tua serta cabe dan sayur sayuran untuk tanaman muda. Bercocok tanam atau bersawah merupakan pekerjaan Zul sejak dirinya masih kecil. Menolong sang ayah atau hanya sekedar untuk mencari uang jajan. Ya, ayahanda selalu mengajari Zul untuk tidak hanya tau meminta uang, namun juga tau bagaimana cara mendapatkannya. Zul dituntut untuk selalu mandiri, disiplin dan tau bagaimana sulitnya hanya untuk sekedar mendapatkan uang jajan.
Bekerja di ladang harus dilalui oleh Zul dengan perjalanan kaki mendaki bukit selama dua jam perjalanan, sedangkan pekerjaan disawah merupakan hal yang sangat biasa bagi Zul kecil. Memanen dan membawa sendiri cabe hasil panen, membawa padi dari sawah ke rumah menggunakan sepeda motor pun lumrah Zul lakukan untuk dapat dijadikan uang ketika dirinya sampai dirumah. Pelajaran yang sangat berharga dari sang ayah. Tidak mengenal istilah instan ..
“Jadi ayah saya selalu mengajari saya untuk tidak hanya bisa meminta-minta uang, namun harus tau bagaimana cara menghasilkannya. Jadi ya tidak ada istilah, Pak minta uang. Kalo saya mau minta uang jajan, pasti ayah saya bakal ajak saya ke ladang dan memanen sendiri” ujar Zul mengingat kenangan yang tak terlupakan sebagai anak yang lahir di desa.
Hal itu berlangung dari mulai ia duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) hingga dirinya beranjak remaja, Sekolah Menengah Atas (SMA). Tanpa sedikitpun mengeluh, dirinya tetap giat dan gigih dalam bekerja membantu ayahnya serta untuk mencari uang demi mewujudkan segala keinginannya.
Zul mengenyam pendidikan SD hingga SMA di desanya itu. Dirinya merupakan alumni dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang kesemuanya di Desa Kemantan dimana Zul dilahirkan. Selama sekolah, Zul aktif di organisasi pramuka. Mulai dari tingkatan siaga, penggalang, penegak, hingga pandega telah ia lalui. Bahkan dirinya juga pernah mengikuti Jambore Nasional kala itu dan sempat menjabat sebagai Ketua Dewan Kerja Ranting (DKR) Kecamatan.
Setelah menamatkan sekolahnya di MAN, Zul akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke kota Jogjakarta. Jogja dikenal dengan kota pelajar serta pendidikannya yang bagus. Sehingga itulah alasan yang membuat Zul ingin melanjutkan pendidikannya ke Jogjakarta. Pilihannya untuk belajar jatuh pada Politeknik “API” Yogyakarta (Poltek API) jurusan pariwisata program Diploma 3.
Semasa kuliah, Zul harus merasakan pahitnya kehilangan ayahanda tercinta. Pasalnya, kala ayahnya pergi menghadap sang Khalik, saat itu dirinya yang masih duduk di semester satu awal perkuliahan. Dengan dua telegram yang berisikan pesan berbeda, Zul mengetahui bahwa ayahnya telah tiada.
“Dulu itu ngirim beritanya pake Telegram. Nah ada dua telegram yang berbeda dikirim oleh Paman saya waktu itu. Satu dikirim ke kamar kos saya yang berisikan ‘ayahanda sakit keras, ananda segera pulang’ dan satu lagi ke kamar abang sepupu saya yang bunyinya ‘segera bawa ananda Zul Arif pulang karena ayahanda telah meninggal’. Saat itu takdir Allah, saya sedang bersama abang sepupu saya menuju kamar kostnya, sesampai di kamar kost abang sepupu saya, saya mendapatkan telegram dan tanpa seijinya saya membuka dan langsung mengetahui berita duka tersebut,” kenang Zul mengingat momen pahit itu.
Setelah kepergian sang ayah, banyak orang yang sama sekali tak memberikan dukungan terhadap Zul kala itu. Beberapa keluarga meyakinkan Zul untuk berhenti kuliah dikarenakan tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Ditambah, dirinya hanya mempunyai ibu dan adik perempuannya saja. Namun hal itu tidak mematahkan semangat Zul untuk tetap belajar dan mewujudkan mimpi ayahnya. Semangat dan kerja keras Zul membuahkan hasil, dirinya mendapatkan beasiswa dari kampusnya sebagai anak yang berprestasi.
“Banyak saudara-saudara dari ibu dan ayah yang meminta saya untuk berhenti kuliah. Mereka takut nanti berhenti ditengah jalan. Namun saya tidak mau, saya tetap memegang tekad saya yang kuat untuk menamatkan kuliah saya,” cerita Zul.
Untuk menyambung hidupnya selama di Jogja, Zul tidak kehabisan akal. Dirinya menjual kaus Dagadu Djokdja yang saat itu menjadi trend di jamannya. Dengan bermodalkan berani, dirinya menjual kaus-kaus itu pada para pengunjung yang datang ke kampus nya dan ditawari sebagai oleh-oleh dengan harga yang terjangkau.
Lanjut Baca …