Batam, owntalk.co.id – Peraturan Menteri Keuangan RI nomor 199/PMK.10/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman telah ditandatangani Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada 26 Desember 2019, artinya, aturan tersebut menetapkan pembebasan bea masuk atas barang kiriman USD3 per kiriman.
Sebelumnya, nilai bebas bea masuk atas barang kiriman sebesar USD75 per hari.
Menurut Kasi Bimbingan Kantor Pelayanan Utama Bea san Cukai (KPUBC) Kota Batam Zulfilkar Islami menyatakan, pemberlakuan Permen tersebut di zona perdagangan bebas (FTZ) Batam dimulai pada akhir bulan ini.
“Untuk pengiriman barang dari Batam ke wilayah Indonesia lainnya, aturannya sama. Penerapan aturan per 30 Januari 2020,” ujarnya kepada owntalk.co.id, Kamis (16/1).
Dengan demikian, menurut Zulfikar, pengiriman barang dari FTZ Batam ke wilayah lain di Indonesia akan dikenakan tarif cukai dan pajak yang sama.
“Aturan ini berlaku di seluruh wilayah NKRI, terutama dalam hal pengiriman barang dari Batam ke Indonesia lainnya,” imbuhnya.
Zulfikar tidak menampik tarif pungutan pajak atas barang kiriman dari Batam ke wilayah Indonesia yang lain bisa mencapai antara 17,5% hingga 50%.
“Karena itu sudah mencakup bea masuk dan pajak dalam rangka impor atau PDRI (PPN, PPh), tetapi harus dicatat itu untuk barang-barang tertentu,” jelasnya.
KPUBC Batam berencana menggelar kegiatan sosialisasi Permen 199/PMK.10/2019 kepada pelaku usaha terkait, Rabu (22/1) depan.
“Diagendakan pekan depan dengan mengundang Asperindo (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia), PJT (perusahaan jasa titipan) beserta agen, dan PT. Pos Indonesia…,“ pungkas Zulfikar.
Dikutip dari laman beacukai.go.id, Pemerintah melalui Bea Cukai telah menetapkan ketentuan impor terbaru terkait barang kiriman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.10/2019 dan akan mulai berlaku pada 30 Januari 2020. Dalam aturan ini Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya USD 75 menjadi USD 3 per kiriman.
Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Namun demikian, pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar ± 27,5% – 37,5% (bea masuk 7,5%, PPN 10 %, PPh 10% dengan NPWP, dan PPh 20% tanpa NPWP) menjadi ± 17,5% (bea masuk 7,5%, PPN 10 %, PPh 0%).
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Syarif Hidayat mengungkapkan, meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan pengrajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri.
“Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri tidak laku. Seperti yang diketahui beberapa sentra pengrajin tas dan sepatu banyak yang gulung tikar, dan hanya menjual produk-produk China,” ungkapnya.
Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, pemerintah telah menetapkan tarif bea masuk normal untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen sebesar 15%-20% untuk tas, 25%-30% untuk sepatu, dan 15%-25% untuk produk tekstil dengan PPN sebesar 10%, dan PPh sebesar 7,5% hingga 10%.
“Penetapan tarif normal ini demi menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level playing field antara produk dalam negeri yang mayoritas berasal dari IKM dan dikenakan pajak dengan produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum,” ujar Syarif.
Sementara itu, Zeny salah satu pengusaha online shop di Batam mengeluhkan aturan PMK 199 yang akan diberlaku sejak 30 Januari 2020 itu. Menurutnya, jika PMK itu tetap diberlakukan, maka akan banyak sekali imbasnya terhadap pengusaha start up Batam yang kehilangan pekerjaan.
“ Para pengusaha startup Batam yang bergerak di bidang penjualan online shop sangat keberatan dengan kebijakkan ini, mana mungkin kami Pemula ini mampu membayar 17.5% – 40% untuk Pajak Bea Masuk,” Kata Zeny
Seterusnya, jika kebijakkan itu tetap di berlakukan, menurutnya tak ada lagi keistimewaan FTZ sebagai Fasilitas yang dapat membuka peluang bagi masyatakat,” lanjutnya.
Sementara itu, Syafi’i pelaku ekspedisi dikota Batam mengkhawatirkan penurunan omset terhadap usahanya dengan diberlakukan nya PMK itu. Dirinya memastikan jika PMK itu berlaku maka akan mempengaruhi jumlah pengiriman barang keluar kota.
“ Itukan Hukum ekonominya, jika transportasinya lebih mahal dari nilai barang yang akan dikirim, maka pembeli akan mencari barang tersebut didaerahnya sendiri,” Kata dia
PMK batu itu sendiri kata Syafi’i dapat diartikan bahwa Pemerintah Pusat menghitung Batam sebagai daerah luar negeri.
“ Batam Bukan Daerah luar Negeri Bu menteri,” Kata dia
Lebih lanjut, Syafi’i mengatakan bahwa di Batam banyak sekali pelaku olshop dari kalangan ibu-ibu .
“ Ibu-Ibu (karena Olshop mayoritas ibu-ibu) yang niatnya ingin membantu perekonomian keluarga kemungkinan bakal sepi penjualan bahkan bisa jadi gulung tikar. Kebanyakan ibu-ibu membuka olshop karena memang kebutuhan ekonomi, mereka hanya pengumpul receh yang penting ekonomi keluarga tetap stabil, karena bias saja suami bekerja hanya mengandalkan basic,” Kata dia (Ack)