Batam, owntalk.co.id – Hak pejalan kaki masih saja terabaikan. Pejalan kaki masih diperlakukan sebagai kelompok pengguna jalan yang boleh disepelekan. Bahkan pemerintah terkesan tidak ambil peduli. Sampai kapan hal ini akan berlangsung?
Tim owntalk.co.id mencontohkan sebuah bangunan kios yang berdiri di trotoar jalan di Sei Jodoh. Lokasinya tak jauh dari Pasar Induk yang beberapa waktu lalu di gusur.
Bangunan kios berdiri permanen di atas trotoar pejalan kaki.
Beberapa waktu lalu, tim owntalk.co.id mencoba menanyakan prihal tersebut kebeberapa pedagang yang berjualan dilokasi tersebut.
Kami menghimpun informasi yang menyatakan bahwa kios tersebut dijual dan disewakan oleh oknum RW dilokasi tersebut.
“ Kalau bangunan ini sudah dibeli.” Kata narasumber yang tak ingin disebutkan namanya
Dia menawarkan, Jika tim ingin mengetahui lebih lanjut informasi mengenai kios tersebut dapat bertanya kepada oknum RW sebagai pengelolanya.
Bangunan tersebut persis berdiri diatas trotoar milik pejalan kaki.
Hak Pejalan kaki dilokasi tersebut seperti dirampas, bahkan dipaksa harus mengalah kepada mereka yang menggunakan jalan dan fasilitas pendukung untuk keperluan usahanya: berjualan, memarkir kendaraan secara sembarang untuk bongkar muat barang.
Ketika haknya diabaikan, jika saling tidak mau mengalah, pejalan kaki sering harus bersitegang dengan pengguna jalan lain. Percekcokan di jalan kadang tak terhindarkan.
Gesekan antara pejalan kaki yang mencoba mempertahankan haknya dengan pengguna jalan lain bahkan bisa lebih dari sekadar adu mulut.
Kahfi, seorang pejalan kaki merasa resah dengan kondisi yang larut selama ini. Dirinya berharap Penerintah kota tidak tebang pilih dalam menegakkan perda bagi lokasi pejalan kaki.
“ Didepan itu baru beberapa hari lalu selesai dibongkar, yang ini seperti aman-aman saja, padahal lokasinya persis diatas trotoar pejalan kaki.” Kata Kahfi
Kahfi mengatakan, kalau arus lalu lintas ramai, pejalan kaki harus berdesak-desakkan diantara mobil dan motor yang lalu lalang.
Para pedagang kaki lima yang menduduki trotoar, celakanya, sudah dianggap lumrah, dan bahkan sering dibumbui dengan dalih pemihakan kepada kelompok pengusaha kecil informal, yang sebetulnya bisa diperdebatkan.
Bahkan, seperti terlihat di jalan sekitar pusat-pusat perbelanjaan pejalan kaki harus mengalah kepada pengusaha serampangan yang memarkir dan melakukan bongkar muat barang di atas trotoar. Bukan saja menghalangi pejalan kaki, kegiatan itu bahkan bisa membahayakan mereka yang melintas.
Pemandangan-pemandangan seperti itu sungguh jauh berbeda dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Hanya di atas kertas, pejalan kaki diperlakukan istimewa.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberikan sejumlah keistimewaan kepada para pejalan kaki.
Undang-undang itu, misal, mewajibkan setiap jalan dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki. Trotoar dan tempat penyeberangan adalah dua di antara sekian hal yang harus disediakan.
Banyak hal harus mengalah kepada kepentingan pejalan kaki. Pengendara kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki. Masih menurut undang-undang tersebut, manajemen dan rekayasa lalu lintas harus memprioritaskan keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki.
Aturan dan ketentuan itu tinggallah pernyataan di atas kertas jika tidak ditegakkan. Penegakan aturan itu, tidak bisa diserahkan kepada pengguna jalan. Atas nama desakan kebutuhannya masing-masing, banyak pengguna jalan lebih memberlakukan hukum rimba di jalanan: barangsiapa kuat dan galak, maka dialah yang berkuasa. Miris.
Idealnya, aparat penegak hukumlah yang memastikan penegakan hukum itu. Namun banyaknya kasus-kasus pengabaian hak pejalan kaki menunjukkan aparat penegak hukum tidak hadir saat dibutuhkan.
Kita membutuhkan jalan keluar yang memadai dan bisa segera diterapkan untuk menjamin hak para pejalan kaki. Selain penambahan jumlah aparat penegak hukum, pemerintah pun patut melirik rekayasa infrastruktur yang bisa memaksa warga negara untuk mematuhi peraturan.
Pemenuhan hak pejalan kaki adalah salah satu etalase yang bisa memperlihatkan seberapa beradab dan berbudaya kita sebagai masyarakat.