Polri Apps
banner 728x90
Opini  

[Opini]- Batam yang Masih Seksi

Berita Terkini Batam

Oleh : M. Arafah, KNPI Batam

“Nanti begitu KTP ponakan-mu sudah jadi, dia pengen juga menyusul ke Batam. Nanti tolong carikan juga kerja.”

Sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu, pesan WA dari sepupu saya itu, saya terima. Persisnya satu Minggu yang lalu. Belum saya tanggapi hingga saat ini. Bukan apa-apa, masih kaget saja, ponakan yang dulu saya tinggali masih imut dan lucu kini sudah menamatkan sekolahnya. Dan sebentar lagi kini menyusul ke Batam.

Saya maklum saja, ponakan saya itu menyusul ke Batam dan kemudian bekerja di kota industri ini. Dia hanya mengulang satu proses yang sebenarnya sudah sering terjadi. Secara sederhananya, tumbuh dewasa, sekolah dan kemudian mencari pekerjaan di Batam.

Sebenarnya bukan hanya tetangga, bahkan di kampung saya sudah banyak yang hijrah dan menetap di pulau yang katanya seperti kalajengking ini. Meski niat awalnya hanya untuk bekerja, tapi lama-kelamaan beranak dan menemukan penghidupan di sini.

Teman saya buktinya, begitu ijazahnya sudah diambil dari sekolah, besok langsung ke Batam mengikut abangnya yang sudah terlebih dahulu merantau ke Batam. Hingga kini sudah 11 tahun menjadi teman merantau ke Batam, berkeluarga juga di sini. Ah, sebenarnya bukan merantau lagi sih, lah wong sudah ber-KTP Batam.

*

Bagi sebagian orang ber-migrasi ke kota adalah suatu kemajuan. Bekerja di kota merupakan simbol moderenitas. Ya, anggapan seperti itu tidak keliru-keliru amat. Karena memang di kota hampir semua serba tersedia dan melambangkan modernis itu sendiri. Dari yang bergaya kantoran sampai yang hangout di cafe-cafe mahal begitu mudah dijumpai.

Tapi apakah alasan itu yang membuat hampir sebagian orang di kampung saya ber-eksodus ke kota. Apakah karena ingin tampil parlente dan dianggap sebagai bagian dari manusia mondern? Saya pikir bukan soal itu. Lantas apa? Jawabannya sederhana. Minimnya sumber penghasilan di kampung dibarengi dengan masih banyaknya anggapan bahwa Batam ada surga bagi pencari kerja.

Tentu tidak salah menganggap Batam masih seksi. Masih layak untuk didatangi untuk kemudian mencari penghidupan di sini. Toh memang ratusan pabrik-pabrik masih berdiri dan mesin-mesin industri masih terus meraung menghasilkan produk. Itu artinya memang kebutuhan akan tenaga kerja masih sangat diperlukan.

Yang kemudian agak mengkhawatirkan saya adalah soal kompetisi antara para pencari kerja itu sendiri. Maklum saja yang masih mengganggap Batam masih seksi itu bukan hanya dari kampung saya. Juga dari beberapa wilayah yang ada di bumi nusantara. Meski saya tidak punya data yang pasti, tapi nya hampir tiap tahun ada puluhan ribu orang datang ke kota ini mencari pekerjaan.

Bukti sahihnya hampir di setiap kawasan industri banyak yang kita jumpai para pencari kerja dari berbagai macam suku. Dan persentase pelamar ini akan naik ketika musim tahun ajaran baru saja dimulai. Akan banyak kita jumpai orang memakai tas duduk-duduk di bawah pohon sambil menunggu giliran dipanggil. Atau hanya sekedar berbagi informasi lowongan pekerjaan.

“Maka sebenarnya sebelum ke kota itu ya, minimal ada skill terlebih dahulu. Jangan cuman nekat doang,” nasehat seperti itu sudah berulang kali saya dengar dan didengungkan di mana-mana.

Sayangnya saya tidak menganut falsafah itu. Ringkasnya kalau punya skill ngapain harus ikut berjibaku dengan ketidakpastian. Mending cari daerah yang lebih menjanjikan. Orang sering bilang “merantaulah maka kamu akan merasakan kerinduan”.