(Diolah dari berbagai sumber)
Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris KEKAL Batam
Metamorfosa peradaban manusia kini memasuki fase milenial. Fase ini ditandai oleh berbagai macam kemajuan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Di antara beragam kemajuan dan perkembangan itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi barangkali menjadi salah satu dimensi yang kental dirasakan dalam kontelasi hidup manusia di era milenial ini.
Perkembangan dan kemajuan iptek yang melesat begitu cepat itu, telah berhasil melahirkan gejala turbulensi, suatu perubahan yang tidak dapat diantisipasi dan dikontrol. Dalam gejala tersebut, penemuan suatu teknologi atau konsep pengetahuan baru barangkali tidak berlangsung lama, karena berhasil digeser oleh penemuan konsep pengetahuan atau teknologi yang jauh lebih inovatif, lebih efektif dalam memecahkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi manusia, dan mampu menjawab kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Hal ini secara gamblang kita temukan dalam konteks persaingan produk handphone sebagai misal. Dalam rentang tempus yang teramat singkat, berbagai mode handphone berseliweran dalam arena persaingan pasar.
Efek domino dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan itu ialah terciptanya dunia siber, dunia maya. Munculnya cyberspace sebagai sebuah ruang tanpa batas dan tanpa pengawasan turut menghapus monopoli suatu lembaga pengaturan atas individu. Setiap individu diberi ruang untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Di sini, tindakan represif dan otoriter dapat diminimalisasi. Di dalamnya segala bentuk fragmentasi dan diferensiasi sosial berdasarkan kategori-kategori tertentu menjadi semakin kabur. Peran-peran sosial dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh satu kelompok saja.
Dalam konteks politik misalnya, rakyat kini memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses formulasi kebijakan-kebijakan publik. Formulasi kebijakan publik tidak lagi dimonopoli oleh politisi yang menduduki kursi pemerintahan. Rakyat bisa memberikan aspirasinya melalui media massa atau media sosial. Sungguh, dunia siber memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengaktualisasikan diri secara bebas dan tanpa tekanan-tekanan dari realita di luar dirinya.
Apabila dipandang secara fenomenologis, dunia siber merupakan sebuah rekayasa virtual netral. Artinya kehadiran dunia maya tersebut dapat membawa pengaruh positif-kontruktif atau negatif-destruktif bergantung pada manusia sebagai subjek pengguna realitas virtual tersebut. Akan tetapi, salah satu kenyataan yang tak terelakan dari keseringan berselancar di dunia siber itu ialah terlemparnya manusia dari realitas riil hidupnya.
Manusia dapat saja kehilangan jati diri dalam kiprahnya di dunia maya. Seorang pelajar bisa lupa dengan tugas hariannya karena waktunya dihabiskan hanya untuk berselancar di dunia maya. Pria yang dalam kehidupan nyata dikenal sebagai seorang yang bertampang garang dan berhati baja, bisa saja tampak begitu feminim dan melankolis dalam realitas virtual. Ibu rumah tangga yang dalam realitas nyata dililiti oleh hutang yang tidak sedikit, dapat saja tampil dengan mimik wajah gembira di halaman facebooknya. Seseorang yang secara psikologis digolongkan sebagai anak-anak, bisa saja memposting konten-konten dewasa dalam dunia siber. Singkat kata, dunia virtual adalah dunia lepas kendali dan di dalamnya manusia bebas menyeting hidupnya.
Di sini manusia sebenarnya sedang teralienasi. Ia bergerak jauh dari realitas riil dan masuk ke dalam realitas maya. Sejurus dengan pemikiran Marx, manusia merasa begitu nyaman dengan realitas maya karena di dalamnya manusia diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri. Namun, aktualisasi diri yang terlampau sering dalam dunia maya dapat membuat manusia buta terhadap realitas hidup riilnya. Ia barangkali lebih mengenal dan memahami persoalan di belahan dunia nan jauh di sana ketimbang persoalan-persoalan dalam lingkungan tempat tinggalnya. Ia bisa saja lebih mengenal artis-artis Hollywood ketimbang tetangga dekatnya.
Keseringan berselancar dan mengaktualisasikan diri dalam dunia maya telah menyebabkan generasi milenial kehilangan daya kritis dalam mengidentifikasi dan mendiferensiasi realitas maya dari realitas nyata. Di sini, adalah sebuah keniscayaan jika generasi milenial melihat realitas virtual itu sebagai realitas riil, ruang dan waktu ia hidup.
Dalam skala yang lebih luas, kehadiran internet dengan aneka aplikasinya benar-benar membuat manusia milenial menanggalkan kemanusiaan sosialnya demi menjadi manusia “maya”. Terlihat bahwa begitu banyak khalayak umum terendam dalam sebuah kolam dekadensi moral. Istilah manusia sebagai mahkluk sosial hanya menjadi “bungkusan luarnya” saja. Masing-masing orang mengembangkan dalam dirinya suatu kepribadian baru, kepribadian manusia internetan.
Hal ini adalah tantangan untuk kita sebagai generasi milneal untuk dapat bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan, bukan hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Akan lebih bermanfaat jika kita menggunakan media sosial yang kita miliki untuk menuliskan informasi atau konten-konten kreatif yang bermanfaat bagi banyak orang. Kita juga harus belajar menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan bertanggung jawab. Jangan hanya asal membaca judul tetapi juga membaca informasinya secara lengkap. Jangan hanya terpukau oleh desain cover lantas mengabaikan isi yang mungkin mencerdaskan dan mencerahkan. Harus cerdas mereguk konten-konten yang berseliweran, lantas membandingkannya dari sumber yang lain yang mungkin lebih terpercaya.
Media sosial sebenarnya bak pedang bermata dua yang sekarang sedang kita pegang erat-erat di tangan kita. Entah itu akan kita gunakan untuk hal yang positif atau yang negatif. Media sosial dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk melakukan perubahan-perubahan besar yang positif jika berada di tangan pengguna yang cerdas. Jadi pertanyaannya, .apakah kamu pengguna yang cerdas?
(Artikel ini pernah dimuat di media BaPuSe)