Opini  

[Opini] – Wajah Penguasa Pasca Pilkada

Atanasius Dula, S.A.P (Doc : Owntalk)

Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris Kerukunan Keluarga Lembata Batam

Meski percikan harapan kenormalan baru, usaha keras dunia penelitian menemukan vaksin dan antidot covid-19, yang hari ini mulai didistribusikan ke seluruh daerah di Indonesiap tak bisa disangkal, ufuk cengkraman pandemi global belum terkuak lebar.

Pertanyaan tentang tentang akhir pandemi sering dijawab dalam format proposisi-proposisi hipotetis atau “ketidaktahuan” yang diterima publik. Kendati demikian, dalam kondisi ini, ranah politik pemerintahan tetap bergulir demi menjamin putaran roda birokrasi dan pelayanan publik. Salah satu elemen esensialnya adalah Pilkada.

Analisis politik J. Kristiadi, peneliti senior CSIS, kembali mengarahkan teropong publik ke pelaksanaan pilkada serentak yang telah dilaksanakan pada bulan Desember 2020 silam, kental dan terang apresiasinya pada penyelenggara pilkada. Alasannya, mereka telah sukses menjalankan salah satu tahapan penting dalam demokrasi di era tanpa preseden.

Praktisnya, di bawah bayang pandemi, pelaksanaan pilkada serentak kemarin menuntut penyesuaian serius terhadap protokol kesehatan, bukan terutama demi keluasan dan kedalaman praktik politik saja tapi demi yang lebih fundamental, yaitu kesehatan/keselamatan masyarakat. Pesta demokrasi kemarin tidak berakhir petaka, karena “pesta” justru dinikmati oleh “para” virus.

Namun, elegi Kristiadi lebih mengarah pada kualitas diskusi publik dan kualitas potensial praktik demokrasi ini. Wacana diskusi publik tentang pelaksanaan pilkada serentak di bulan Desember silam lebih menyasar ranah teknis-prosedural. Diskursus tentang perangkat upacara penyelenggaraan dan aturan main.

Pusat atensi dan memori seakan menjauh dari hal-hal yang lebih krusial dan fundamental, yaitu politik uang yang mulai menjadi “common sense”, politik dinasti dan politisasi birokrasi. Dari hal-hal fundamental ini mengalirlah isu-isu politisasi bansos, desentralisasi dan pilkada asimetris, pilkada konkuren, dan subsidi dana partai politik. Namun, justru marjinalisasi mengurung isu-isu ini dari konsumsi nalar publik.

Pilkada yang tuna roh ideal dan miskin gagasan besar tidak akan menjadi rahim dan palungan bagi kepemimpinan lokal yang ideal. Bagi Kristiadi, pilkada demikian hanya akan berakhir sebagai rutinitas ritual nirnilai mulia. Demikian, ia hanya akan melahirkan perilaku-perilaku politik durjana dan demagog pembawa petaka.

Dalam sejarah, wajah-wajah penguasa telah secara bergantian bermunculan. Salah satu teropong telaah untuk menganalisis fenomena ini mengacu pada sumber legitimasi kekuasaan. Sumber legitimasi ini secara langsung mempengaruhi tipe penguasa. Misalnya, pada mulanya, baik di dunia Barat maupun Timur, pemberi legitimasi sang penguasa merujuk pada yang transenden.

Era “Dewa Tiruan”

Di masa klasik tradisional, kuasa mistis-religius ini menciptakan model kepemimpinan yang absolut. Sang penguasa hadir sebagai inkarnasi yang transenden. Tirai gaib menyelubungi tampilannya, sehingga kehadirannya bak wujud eksistensi sang sumber kekuasaan. Ia memang bukan yang transenden itu sendiri. Ia lebih mewujud sebagai counterfeit double (tiruan ganda) sang penguasa ilahi.

Semua keputusannya dilihat sebagai perwujudan kehendak ilahi. Karena itulah, sang penguasa dan keputusannya seakan-akan tak terjangkau oleh tuntutan pertanggungjawaban. Impunitas dan imunitas sang penguasa dari tuntutan ini mengalir sebagai konsekuensi logis “keilahiannya”. Apalagi, tuntutan pertanggungawaban ini meruang secara insani sedangkan sang tiruan ganda bersembunyi di ranah “adikodrati”.

Di pihak lain, privilese untuk menuntut dan mengkritik bukanlah properti rakyat. Sebaliknya, mereka sepenuhnya menyerahkan diri pada perintah dan kebijaksanaan sang penguasa. Akibatnya, nasib rakyat sungguh tergant…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *