banner 728x90

Suara yang Tak Didengar: Ketika Warga Kampung Karyawan Sekupang Hidup dalam Bayang-Bayang Penggusuran

Batam, Owntalk.co.id — Sore itu, langit Sekupang mulai memerah ketika beberapa warga di Kampung Karyawan, RT 05/RW 03, Kelurahan Tanjung Pinggir, duduk di depan rumah-rumah kayu mereka yang sudah mulai kosong. Di antara sisa papan dan genting yang berserakan, mereka berbincang pelan, menatap rumah-rumah tetangga yang satu per satu mulai diratakan sendiri.

Mereka bukan sedang pindah rumah secara sukarela. Mereka takut. Takut karena selembar surat berkop Tim Terpadu Pengawasan dan Penertiban Bangunan Liar Kota Batam kini menggantung di dinding rumah mereka. Surat bernomor 269/TIM-TPD/XI/2025 itu memberi waktu tujuh hari kepada warga untuk membongkar dan mengosongkan rumah sendiri, sebelum Tim Terpadu datang melakukan pembongkaran paksa.

“Begitu dapat surat, malam itu kami tidak bisa tidur,” tutur seorang ibu rumah tangga dengan mata berkaca. “Kami tidak punya tempat lain. Kalau rumah ini dibongkar, kami mau tinggal di mana?”

Surat tersebut bukan datang begitu saja. Ia merupakan tindak lanjut dari permintaan PT Mahesa Tantra melalui surat bernomor 001/ABP/SP/III/2025 tertanggal 20 Maret 2025, yang meminta Tim Terpadu menertibkan bangunan di atas lahan yang diklaim milik perusahaan itu.

Namun bagi warga, surat itu terasa seperti ancaman. Mereka merasa diabaikan, bahkan diperlakukan tidak adil. Dari sekitar 20 rumah yang masih berdiri, ada yang hanya ditawari ganti rugi Rp1.5 juta dan Rp2,5 juta, tanpa kavling.

“Satu atau dua juta lima ratus ribu itu mau buat apa? Untuk bongkar saja sudah habis,” kata salah satu warga. “Sementara ruli di sebelah kami, mereka dibayar Rp5 juta dan dikasih kapling. Apa bedanya kami dengan mereka? Hanya karena kami orang kecil?”

Rasa kecewa itu semakin dalam karena warga mengaku sudah sejak lama dijanjikan solusi. Tahun 2015, pihak perusahaan pernah berjanji akan membantu memindahkan warga ke kavling baru di sekitar Sekupang. Tapi janji itu tak pernah ditepati.

Kini, ketika warga berusaha mencari kavling sendiri di kawasan Patam Lestari, dengan harga sekitar Rp40 juta per kavling, perusahaan justru dinilai lepas tangan dan malah menghadirkan Tim Terpadu untuk menertibkan mereka.

“Dulu mereka bilang sanggup bantu kalau ada kavling. Sekarang malah bilang tidak mampu, lalu bawa Tim Terpadu. Kami ini bukan penjahat,” ucap seorang bapak paruh baya sambil memegang surat peringatan yang mulai kusut.

Beberapa warga akhirnya memilih pasrah. Mereka membongkar rumah sendiri, bukan karena rela, tapi karena takut melihat aparat datang.

“Kami tidak mau ribut, kami hormati Tim Terpadu. Tapi perusahaan seolah melaga kami dengan mereka,” kata salah satu warga lainnya.

Mereka sadar, mereka tidak mengerti banyak tentang hukum atau peraturan tata ruang. Tapi mereka tahu arti keadilan. Mereka tahu bagaimana rasanya kehilangan tempat tinggal, dan bagaimana getirnya melihat janji berubah menjadi tekanan.

“Kami cuma minta dihargai. Kami bukan menolak aturan, tapi jangan hukum kami dengan ketidakadilan,” ujar seorang ibu dengan nada lirih, menatap rumahnya yang tinggal puing.

Di Kampung Karyawan, suara-suara kecil itu mungkin tak terdengar keras. Tapi di antara sisa papan yang berserakan, mereka masih berharap, bahwa suatu hari, keadilan bisa hadir bukan hanya untuk yang tahu aturan, tapi juga untuk mereka yang hanya tahu bagaimana rasanya kehilangan rumah dan hidup dengan perasaan takut.

Di balik ketakutan yang kian menghimpit, warga hanya berharap ada tangan pemerintah kota Batam, BP Batam, maupun wakil rakyat di DPRD kota Batam yang mau datang, mendengar, dan menghadirkan solusi nyata. Bukan sekadar janji di atas kertas, tapi langkah yang benar-benar memberi rasa aman bagi mereka yang kini hidup di ujung ketidakpastian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *