Opini  

Tanda Salib Sebagai Simbol Ungkapan Diri Kompol Cosmas Kaju Gae

Tokoh Masyarakat NTT Batam, Simon Payung Masan, Ketua Yayasan Keluarga Flobamora Batam. (Foto: Pribadi)

Oleh: Simon Payung Masan

Pasca demonstrasi yang mengemuka, ruang media sosial kini dipenuhi suara yang menyerukan “keadilan” bagi Kompol Cosmas Kaju Gae. Perwira tangguh, religius, dan berdisiplin tinggi itu harus menerima kenyataan pahit: Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi kepolisian.

Air mata yang jatuh dari wajahnya bukan hanya di hadapan sesama manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan. Bagi banyak orang, tangisan itu menjadi simbol ketidakadilan yang dirasakannya. Namun dibalik kesedihan itu, tersimpan pesan moral yang kuat, sebuah tanda salib kecil yang ia buat sebelum menyatakan isi hatinya, sekaligus menegaskan, “Saya bukan seorang pembunuh.”

Cosmas dikenal bukan hanya tegas dalam menjalankan tugas, tetapi juga sangat religius. Nilai-nilai iman dan kedisiplinan telah ia warisi sejak kecil dari keluarganya. Bagi mereka yang mengenalnya, karakter itu bukanlah pencitraan, melainkan napas hidupnya.

Tentu saja, pro dan kontra atas kasus yang menimpa dirinya tak terelakkan. Ada yang mendukung keputusan institusi, ada pula yang merasa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Namun, sebagai salah satu sesepuh keluarga besar NTT di Batam dan Kepulauan Riau, saya merasa perlu menyampaikan harapan: Agar Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, berkenan meninjau ulang keputusan tersebut.

Dengan hak prerogatif yang dimilikinya, Presiden diharapkan dapat mengkaji secara mendalam, dengan data yang lengkap, dan mempertimbangkan untuk membatalkan PTDH terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae.

Tanda salib kecil yang ia torehkan sebelum berbicara adalah simbol keyakinan sekaligus jeritan hati. Dari sana kita diingatkan, bahwa keadilan bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga tentang nurani.

(Penulis adalah seorang tokoh masyarakat Flores NTT di Kota Batam)

Exit mobile version