Oleh: Ibal Zulfianto
Tadi malam sudah lewat pukul sepuluh ketika saya memutar balik kendaraan di kawasan Nagoya. Lelah di hari itu belum sepenuhnya reda, tapi rasa ingin tahu membawa saya memutari beberapa titik jalan utama di Batam. Dari Nagoya dan sekitarnya berlalu menuju ke Batam Centre. Tujuannya sederhana: melihat bagaimana parkir tepi jalan bekerja di jam-jam yang dianggap “sepi”.
Ternyata saya salah. Parkir masih hidup. Masih ramai. Masih sibuk. Di banyak titik, kendaraan berderet, dan para juru parkir tetap siaga. Ada yang berdiri tegak memegang peluit, ada pula yang duduk santai sambil bermain ponsel, dan ada pula yang tengah menghisap dalam rokoknya. Kehadiran mereka konstan, teratur—seolah menjadi bagian dari denyut kota.
Namun ada satu hal yang justru tidak hidup: pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi parkir.
Bising Peluit, Sepi Pendapatan
Pemerintah Kota Batam menargetkan PAD dari parkir mencapai Rp70 miliar per tahun. Tapi yang masuk ke kas daerah hanya sekitar Rp11 miliar. Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya, angka realisasi juga berkisar di level yang sama: stagnan dan jauh dari target.
Angka ini menimbulkan satu pertanyaan besar: ke mana uang parkir warga Batam mengalir?
Di sinilah cerita gelap mulai terlihat. DPRD Batam menyebut adanya praktik kutipan liar oleh pihak ketiga yang bahkan lebih kuat daripada aparat pengelola resmi. Mereka hadir di antara Dishub dan jukir, mengambil porsi terbesar, menyisakan remah untuk kas negara.
Orang-orang menyebut mereka dengan istilah yang—mohon maaf—mungkin terlalu sopan: “raja-raja kecil”.
Padahal yang lebih tepat mungkin adalah: “penguasa bayangan dengan peluit di tangan dan kantong tak berujung.”
Raja Parkir Pemilik Tahta yang Tak Pernah Sah
Sungguh mulia kerajaan ini:
Tak punya istana, tapi punya anak buah di tiap trotoar.
Tak pernah menang pilkada, tapi bisa mengatur wilayah hingga ke ruas jalan kecil.
Tak punya badge, tapi bisa membuat warga takut hanya dengan tatapan.
Mereka bukan bagian dari sistem, tapi hidup mewah dari sistem yang bocor.
Raja-raja parkir ini seperti bayangan—tak terlihat, tapi selalu hadir saat uang berpindah tangan.
Dan selama mereka berkuasa, rakyat (alias warga pengguna jalan) hanya jadi ladang panen tanpa perlindungan.
Kendaraan Mengalir, PAD Menguap
Pada 16 April 2025, jumlah kendaraan bermotor di Kota Batam telah mencapai 1,09 juta unit.
Rinciannya: 880.710 unit sepeda motor, 179.409 mobil penumpang, dan 27.935 mobil muatan.
Dengan jumlah kendaraan sebesar ini, Batam ibarat sungai logam yang mengalir tanpa henti di setiap ruas jalan.
Namun ironisnya, aliran retribusi yang semestinya menetes ke kas daerah justru tak lebih dari rembesan di musim kemarau.
Lalu lintasnya nyata, tapi pendapatannya semu.
Hitung-Hitungan yang Tak Bisa Lagi Diabaikan
Mari kita berhenti berteori. Mari bicara angka—angka yang lebih masuk akal berdasarkan realitas lapangan.
Asumsikan setiap titik parkir melayani per hari:
- 35 kendaraan roda empat × Rp4.000 = Rp140.000
- 50 kendaraan roda dua × Rp2.000 = Rp100.000
Total per titik per hari = Rp240.000
Dengan 895 titik parkir resmi di Batam:
Per hari seluruh kota:
895 × Rp240.000 = Rp214.800.000
Per bulan (30 hari):
Rp214.800.000 × 30 = Rp6.444.000.000
Per tahun (12 bulan):
Rp6.444.000.000 × 12 = Rp77.328.000.000
Ya, Rp77,3 miliar per tahun—hanya dari parkir tepi jalan. Dan ini belum termasuk pusat perbelanjaan, event, atau tempat wisata yang padat kendaraan.
Bandingkan dengan total kendaraan yang ada—jika hanya 10 persen saja dari kendaraan aktif parkir setiap hari, angka potensinya bisa melesat jauh di atas simulasi ini.
Potong Gaji, Kota Tetap Untung
Bagaimana jika para juru parkir digaji secara resmi?
- Jumlah titik/jukir: 895
- Gaji layak per bulan: Rp5.000.000
- Total gaji per bulan: 895 × Rp5.000.000 = Rp4.475.000.000
- Total gaji per tahun: Rp53.700.000.000
Maka PAD murni yang bisa masuk kas daerah:
- Potensi bruto: Rp77.328.000.000
- Dikurangi gaji jukir: Rp53.700.000.000
- Sisa bersih: Rp23.628.000.000
Itu angka yang jujur dan realistis. Bukan angan-angan.
Dan ingat, ini masih batas bawah. Bila sistem dibersihkan, dan digitalisasi diberlakukan penuh, sisa PAD bisa naik signifikan.
Digitalisasi: Warga Tak Lagi Dipalak, Tapi Dilayani
Inilah waktunya Batam memperkenalkan layanan parkir digital. Tak perlu alat canggih atau infrastruktur futuristik. Cukup:
- Aplikasi sederhana
- Barcode QRIS
- Jukir dengan rompi resmi dan perangkat pemindai
Masyarakat cukup scan QRIS, masukkan nomor kendaraan, bayar langsung dari ponsel.
Tanpa karcis sobek, tanpa uang kertas yang tak tercatat.
Tanpa ketegangan soal “uang kembalian”.
Dan yang paling penting: tanpa rasa dicurangi.
Warga akan senang dan lega, karena tahu uang parkir mereka masuk ke kas daerah, bukan ke kantong gelap.
Juru parkir pun tenang, karena tidak lagi bergantung pada “setoran” harian yang menekan.
Pemerintah juga untung, karena semua data terekam otomatis: jumlah kendaraan, jam parkir, hingga tren lalu lintas.
Batam pun bisa menjadi kota modern—bukan hanya dari bentuk gedung dan jalan-jalannya, tapi dari cara ia melayani warganya.
Moratorium: Jeda yang Menyembuhkan
Karena itulah moratorium parkir tepi jalan yang diusulkan DPRD Batam seharusnya tidak dipandang sebagai musibah.
Justru inilah momen penyelamatan. Sebuah tombol reset untuk menghentikan sistem lama yang sudah korup dari akar hingga dahan.
Moratorium dua bulan bukan soal memberhentikan kerja para jukir. Ini tentang menghentikan rente sistemik yang sudah mendarah daging.
Ini tentang mematikan kerajaan liar yang selama ini beroperasi di bawah radar.
Kota Tak Layak Dipimpin Peluit-Peluit Gelap
Selama ini, juru parkir identik dengan orang berseragam lusuh yang memalak warga di pinggir jalan.
Tapi sebenarnya, mereka hanya korban dari sistem yang kacau.
Sudah saatnya profesi juru parkir diangkat derajatnya:
Digaji layak. Dipantau sistem digital. Diberi seragam resmi. Dilatih melayani.
Bukan lagi pemalak, tapi petugas publik.
Dan yang lebih penting: tidak ada lagi “kerajaan” yang memungut pajak harian di jalan umum.
QRIS di Tangan, Peluit di Museum
Parkir adalah wajah dari peradaban kota.
Bila parkirnya semrawut, tidak transparan, dan penuh kebocoran—maka bagaimana mungkin pelayanan publik lainnya bisa dipercaya?
Saatnya Batam berubah:
Dari parkir manual ke digital.
Dari uang tunai ke QRIS.
Dari ketakutan ke kenyamanan.
Dari ladang rente ke sumber PAD yang sah dan bermanfaat.
Dan jika ada yang gusar dengan perubahan ini, mungkin karena mereka terlalu lama menikmati gelapnya sistem.
Sudah cukup. Sekarang waktunya terang.
Penulis adalah Ibal Zulfianto, Ketua DPD Projo Kepulauan Riau, yang menetap di Batam.
Seorang warga kota yang percaya bahwa transparansi bukan sekadar slogan, tapi jalan panjang menuju keadilan pelayanan publik—termasuk di urusan kecil seperti parkir.
Karena dari trotoar yang tertib, lahir peradaban yang bersih.
Dan dari peluit yang jujur, tumbuh harapan untuk kota yang tak lagi kehilangan suara warganya.