Jakarta, Owntalk.co.id – Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, efektif mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini didasarkan pada mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan tarif PPN ini diperkirakan akan berdampak signifikan pada harga barang dan jasa di seluruh negeri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani: Kebijakan yang Dipertimbangkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan menaikkan PPN telah dirancang dengan cermat, mempertimbangkan berbagai sektor penting, termasuk sektor kesehatan dan kebutuhan pokok. “Kebijakan perpajakan ini tidak dibuat dengan sembarangan. Kami memperhatikan sektor-sektor krusial, seperti kesehatan dan bahan makanan pokok,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.
Menurut Sri Mulyani, menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah prioritas. Selama krisis keuangan global dan pandemi, APBN menjadi instrumen utama untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dengan kenaikan PPN, pemerintah berharap dapat menambah penerimaan negara yang sangat dibutuhkan.
Barang dan Jasa Kena Pajak
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, hampir semua barang dan jasa akan dikenakan PPN, seperti produk fashion, otomotif, elektronik, pulsa telekomunikasi, dan layanan streaming seperti Spotify dan Netflix. Beberapa barang, seperti uang, emas batangan untuk cadangan devisa, serta surat berharga, dikecualikan dari pajak ini. Selain itu, makanan dan minuman juga tidak terkena PPN 12 persen karena sudah dikenakan pajak daerah yang rata-rata sebesar 10 persen.
Namun, sektor jasa, terutama transportasi, akan ikut merasakan dampak kenaikan PPN ini. Tiket pesawat, misalnya, akan menjadi lebih mahal. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa jasa angkutan udara termasuk dalam kategori yang dikenakan PPN. “Jasa angkutan udara domestik merupakan objek PPN,” kata Dwi Astuti kepada Tempo, Sabtu, 16 November 2024.
Dampak Ekonomi: Pemasukan Negara vs. Daya Beli
Menurut Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, kebijakan ini dapat menambah pemasukan negara hingga Rp80 triliun. “Namun, peningkatan daya beli masyarakat justru akan terhambat. Harga-harga yang naik bisa menekan pertumbuhan ekonomi,” ungkap Ajib. Ia menambahkan, pemerintah perlu mengantisipasi kontraksi pada sisi permintaan dan pasokan yang akan terjadi akibat kenaikan harga.
Ketua Umum Asosiasi Pengurus Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, juga mengungkapkan kekhawatirannya. “Naiknya 1 persen PPN mungkin terlihat kecil, tetapi ini tetap memberatkan konsumen. Ekonomi kita belum sepenuhnya pulih, dan masyarakat kini lebih memilih produk yang lebih murah atau dalam ukuran yang lebih kecil,” kata Solihin di Tangerang, Minggu, 17 November 2024.
Solihin menjelaskan bahwa para peritel kini harus menyesuaikan diri dengan perubahan orientasi konsumen, yang semakin cenderung membeli barang dalam ukuran kecil atau produk dengan harga lebih terjangkau. “Kami harus beradaptasi untuk menyediakan produk sesuai kebutuhan konsumen yang berubah,” tambahnya.
Seruan untuk Membatalkan Kenaikan PPN
Sementara itu, Jaringan Pengusaha Muhammadiyah yang tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) meminta pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan PPN ini. Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim, berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sensitif terhadap dunia usaha yang sedang berjuang. “Kenaikan PPN akan menambah beban usaha, terutama UMKM, yang justru butuh dukungan pemerintah,” tegas Ghufron.
Ghufron juga menyoroti perbandingan tarif PPN di kawasan ASEAN. “Indonesia akan memiliki tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara, jauh di atas Malaysia yang hanya 6 persen, atau Singapura dan Thailand dengan 7 persen,” ujarnya. Ia bahkan menyarankan agar PPN di Indonesia dikurangi ke 10 persen atau lebih rendah untuk mendukung daya beli masyarakat dan merangsang konsumsi.
Kenaikan PPN ini telah memicu banyak diskusi di berbagai kalangan, terutama karena akan berdampak langsung pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sementara pemerintah menegaskan pentingnya kebijakan ini untuk menambah penerimaan negara, berbagai pihak berharap ada langkah mitigasi yang bisa meringankan beban masyarakat dan dunia usaha.