Aliansi Pendidikan Tolak Kembalinya UN Sebagai Penentu Kelulusan

Petisi tolak UN. (Dok. change.org)

Jakarta, Owntalk.co.id – Aliansi Pendidikan Baik baru-baru ini meluncurkan petisi untuk menolak rencana kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa.

Petisi ini hadir sebagai respons atas pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang menyatakan akan mengkaji ulang peran Ujian Nasional. Sejak diterbitkan pada 1 November, petisi tersebut telah mendapatkan dukungan dari 1.469 penandatangan.

“Dinamika ini menimbulkan keresahan bagi kami, baik sebagai orang tua maupun pendidik, terkait kualitas pembelajaran anak-anak kami,” tulis Aliansi dalam petisi yang dipublikasikan di Change.org pada Rabu (6/11/2024).

Aliansi menyoroti bahwa dalam 15 tahun terakhir, pendidikan Indonesia telah mengalami perubahan besar, khususnya dalam hal penghapusan UN sebagai penentu kelulusan.

Keputusan untuk menghapus Ujian Nasional disahkan oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan sejak masa Menteri Pendidikan Anies Baswedan, kemudian diteruskan oleh Muhadjir Effendy dan Nadiem Makarim. Keputusan ini, menurut Aliansi, seharusnya juga menjadi komitmen bagi Abdul Mu’ti dan Satryo Brodjonegoro.

Perubahan ini membawa dampak positif bagi dunia pendidikan. Pada 2016, UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, dan pada 2020, ujian ini dihapus sepenuhnya.

“Transformasi ini memberikan angin segar, menggeser pola belajar siswa dari sekadar persiapan ujian menjadi proses pemahaman kompetensi dan penguatan karakter,” jelas Aliansi.

Aliansi juga mencatat bahwa perubahan ini membutuhkan waktu dan kesabaran untuk mengubah kebiasaan siswa, guru, dan orang tua dari pola lama menuju pendekatan baru yang lebih holistik.

“Namun, di tengah proses ini, isu untuk mengembalikan UN sebagai penentu kelulusan muncul dan berkembang menjadi wacana yang semakin keras,” tegas Aliansi.

Dalam petisinya, Aliansi Pendidikan Baik menolak keras Ujian Nasional karena dianggap menggeser fokus pembelajaran siswa dari penguasaan kompetensi menuju pencapaian skor ujian.

Aliansi menilai, “UN tidak adil karena hanya mengukur kemampuan siswa dalam waktu singkat, sementara pembelajaran adalah proses yang panjang.”

Selain itu, UN dinilai kurang menghargai profesionalisme guru dan satuan pendidikan yang seharusnya memiliki otonomi dalam menilai kemajuan siswa melalui observasi dan asesmen sepanjang proses belajar.

“UN mengabaikan kompetensi guru yang sejatinya lebih memahami perkembangan siswa,” lanjutnya.

Aliansi juga menyoroti dampak negatif UN pada kesehatan mental siswa, terutama bagi mereka yang masih rentan secara sosial dan psikologis terhadap tekanan berlebihan.

“UN tidak mempertimbangkan tahap perkembangan siswa di tingkat dasar dan menengah, berbeda dengan pendidikan tinggi, dan justru memperlebar kesenjangan akses pendidikan, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin dan di daerah pelosok,” tutup Aliansi dalam petisinya.

Exit mobile version