Sertifikat Halal Wajib untuk Retailer Meski Menjual Produk Nonhalal

Ilustrasi Supermarket. (Dok. Unsplash)

Jakarta, Owntalk.co.id – Retailer, termasuk supermarket dan minimarket, kini wajib memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), meskipun mereka juga menjual produk nonhalal.

Kewajiban ini ditegaskan oleh Muti Arintawati, Direktur Utama LPPOM, dalam pertemuan media di Jakarta Selatan pada Kamis (3/10/2024).

“Sertifikat halal wajib dimiliki oleh semua barang dan jasa yang berhubungan dengan makanan, minuman, obat, kosmetika, produk kimia, produk biologi, produk hasil rekayasa genetika, serta barang konsumsi lainnya yang digunakan masyarakat,” ujar Muti.

Meskipun retailer bukanlah produk, namun sebagai penyedia jasa yang menangani distribusi dan penjualan makanan dan minuman, mereka wajib memenuhi persyaratan sertifikasi halal.

Sertifikasi halal untuk jasa retailer mencakup pengelolaan produk yang harus bebas dari najis, yang bisa mengontaminasi produk halal.

Ada empat aspek utama yang diatur dalam sertifikasi ini, yaitu pergudangan, distribusi, penanganan dan penyimpanan, serta pemajangan produk.

“Yang diutamakan adalah bagaimana retailer menangani alur distribusi produk, agar tidak terjadi kontaminasi silang antara produk halal dan nonhalal,” jelas Muti.

Hal ini menjadi sangat penting, terutama jika supermarket atau minimarket tersebut melakukan pengolahan bahan makanan di dalam toko. Dalam kasus seperti ini, retailer tersebut harus memiliki sertifikat halal khusus untuk pengolahan.

Dalam proses sertifikasi, ada tiga kategori produk yang perlu diidentifikasi: produk halal, produk haram, dan produk dengan status kehalalan yang belum jelas.

Produk yang jelas halal meliputi buah dan sayur serta produk bersertifikat halal lainnya yang tidak memerlukan penanganan khusus.

Sementara itu, produk haram seperti daging babi dan minuman keras harus dipastikan tidak mengontaminasi produk halal dalam penyimpanan atau penanganannya.

Perusahaan juga diwajibkan memiliki prosedur tertulis yang terdokumentasi dengan baik, termasuk penerimaan, penanganan, penyimpanan, ketertelusuran produk, serta pelatihan personel.

Selain itu, audit internal dan kaji ulang manajemen juga menjadi bagian penting dari persyaratan ini.

Muti menekankan bahwa dengan adanya sertifikasi halal pada jasa retailer, konsumen mendapatkan kepastian bahwa ada aturan yang jelas dalam penanganan produk halal dan nonhalal di satu lokasi.

“Misalnya, alat yang digunakan untuk mengolah bahan haram tidak boleh digunakan untuk mengolah bahan halal,” ungkapnya.

Saat ini, LPPOM mencatat 48 retailer yang telah memiliki sertifikat halal di Indonesia, termasuk beberapa supermarket besar seperti AEON, GrandLucky, Hypermart, K3Mart, dan Trans Retail.

KH. Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, menambahkan bahwa peran MUI dalam sertifikasi halal adalah untuk menjaga umat dari konsumsi produk haram.

“Dalam sertifikasi halal, kami memastikan bahwa produk yang terkena najis dapat disucikan dengan proses yang benar, yaitu menggunakan air dan bahan pembersih, hingga hilangnya bau, rasa, dan warna najis tersebut,” jelas Miftahul.

Kehadiran sertifikasi halal bagi retailer ini diharapkan dapat memberikan jaminan lebih bagi konsumen, sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap kualitas produk yang dijual di pasar Indonesia.

Selain itu, langkah ini juga menjadi wujud tanggung jawab retailer dalam memastikan kebersihan dan kesucian produk yang ditawarkan kepada masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *