Jakarta, Owntalk.co.id – Susu ikan tengah digadang-gadang sebagai alternatif susu sapi dalam Program Makan Bergizi dan Susu Gratis yang diusung oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Program ini bertujuan untuk menjangkau hingga 82,9 juta orang, mulai dari ibu hamil hingga anak sekolah. Namun, tantangan terbesar adalah keterbatasan stok susu sapi di Indonesia, yang saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa kebutuhan susu nasional mencapai 4,3 juta ton per tahun, namun produksi susu dalam negeri baru mencakup 22,7 persen dari angka tersebut. Sisanya, sekitar 77 persen, masih harus diimpor. Hal ini mendorong pemerintah mencari alternatif lain untuk mendukung program ini.
Salah satu solusinya datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), yang tahun lalu meluncurkan inovasi produk berbahan dasar ikan, yakni susu ikan.
Produk ini dihasilkan melalui proses modern yang mengubah ikan menjadi Hidrolisat Protein Ikan (HPI), bahan baku utama untuk susu ikan.
Susu ikan diklaim memiliki banyak keunggulan, antara lain kandungan tinggi EPA, DHA, Omega-3, bebas alergen, serta lebih mudah diserap tubuh dengan tingkat penyerapan protein hingga 96%.
Selain itu, ikan juga dikenal kaya akan nutrisi seperti protein hewani, asam amino, mineral, dan vitamin yang sangat penting untuk mencegah stunting.
DR. dr. Tan Shot Yen, M. Hum, seorang dokter dan ahli gizi masyarakat, memberikan pandangan kritis terhadap gagasan produksi massal susu ikan. Menurutnya, ikan lebih baik dikonsumsi langsung untuk mendapatkan manfaat nutrisinya secara utuh.
Ia mempertanyakan kebutuhan mendirikan pabrik susu ikan ketika masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki akses yang cukup luas terhadap ikan segar dan sumber protein lain seperti telur dan unggas.
“Kalau bisa makan ikannya, kenapa harus ada pabrik susu ikan? Di berbagai daerah di Indonesia, ikan tersedia, juga aneka telur dan unggas,” ujar dr. Tan.
Ia menambahkan, masyarakat Indonesia seharusnya tidak kekurangan nutrisi karena ketersediaan makanan kaya gizi sudah ada di setiap wilayah. Tantangannya bukanlah produksi susu ikan, melainkan bagaimana meningkatkan literasi dan edukasi gizi kepada masyarakat.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya fokus pada penerapan ekonomi sirkular yang mengutamakan kearifan lokal dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi, bukan menambah industri baru yang berpotensi hanya menguntungkan segelintir elit.
“Yang kita butuhkan adalah memakmurkan rakyat lokal, bukan menciptakan cuan untuk lingkaran elit,” tegas dr. Tan.
Ia juga menekankan bahwa ikan segar menawarkan manfaat nutrisi yang lebih banyak dibandingkan produk ultraproses seperti susu ikan. “Ikan segar kaya manfaat dan bukan produk ultraproses,” ujarnya.
Susu ikan mungkin memiliki potensi sebagai alternatif susu sapi di tengah keterbatasan stok, terutama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi skala nasional.
Namun, menurut ahli gizi seperti dr. Tan Shot Yen, solusi yang lebih tepat adalah memanfaatkan ikan segar dan kearifan lokal daripada mengembangkan industri susu ikan. Literasi gizi dan edukasi masyarakat harus ditingkatkan agar nutrisi terpenuhi tanpa ketergantungan pada industri baru yang bersifat ultraproses.