Polri Apps
banner 728x90

Kemenkes Ungkap Kematian Dokter Aulia, Diperas Puluhan Juta untuk Biayai Senior

Dokter PPDS Undip meninggal. (Dok; @rsud_kardinah)

Jakarta, Owntalk.co.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan fakta mengejutkan terkait tekanan finansial yang dialami oleh Dokter Aulia Risma Lestari selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip).

Dokter Aulia diduga menjadi korban pemerasan oleh oknum di PPDS, di mana ia dipaksa untuk membayar puluhan juta rupiah setiap bulan.

Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menjelaskan bahwa selain harus mengeluarkan uang sebesar Rp10 juta hingga Rp40 juta per bulan, almarhumah juga dibebani tugas sebagai bendahara yang bertanggung jawab menerima pungutan dari rekan-rekan seangkatannya.

“Almarhumah tidak hanya diperas, tetapi juga harus mengelola uang tersebut untuk keperluan-keperluan non-akademik, seperti membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senior, menggaji OB, dan berbagai kebutuhan senior lainnya,” ujar Syahril dalam keterangannya pada Minggu (1/9/2024).

Pungutan yang sangat memberatkan ini, menurut Syahril, diduga menjadi salah satu pemicu tekanan mental yang dialami oleh almarhumah selama masa pendidikannya.

Dokter Aulia dan keluarganya tidak menyangka akan menghadapi beban finansial sebesar itu selama program pendidikan.

Menanggapi laporan terkait pemerasan ini, Kemenkes telah menyerahkan bukti dan saksi yang ada kepada pihak kepolisian untuk proses hukum lebih lanjut.

“Investigasi terkait dugaan bullying dan pemerasan masih terus berlangsung oleh Kemenkes bersama pihak kepolisian,” tambah Syahril.

Sebagai langkah antisipasi, Kemenkes juga telah menghentikan sementara praktik PPDS anastesi Undip di RS Kariadi sejak 14 Agustus 2024.

Keputusan ini diambil karena adanya dugaan upaya perintangan dari individu-individu tertentu yang berusaha menghalangi proses investigasi yang dilakukan oleh Kemenkes.

“Kami mengambil tindakan tegas ini untuk memastikan bahwa proses investigasi berjalan lancar tanpa ada hambatan, serta untuk melindungi hak-hak para peserta didik di masa mendatang,” tegas Syahril.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat dalam program pendidikan dokter spesialis di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *