Negara Tajikistan Sahkan UU Larang Gunakan Hijab

Ilustrasi perempuan menggunakan hijab. (Dok; Depositphotos)

Jakarta, Owntalk.co.id – Tajikistan baru saja mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan hijab, sebuah langkah yang memicu kontroversi di dalam dan luar negeri.

Parlemen negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut mengadopsi undang-undang tentang “tradisi dan perayaan” yang melarang penggunaan, impor, penjualan, dan pemasaran “pakaian asing bagi budaya Tajik.”

Banyak pihak melihat larangan ini sebagai upaya menargetkan pakaian khas Muslim.

Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul serta ekstremisme.”

Dalam beberapa tahun terakhir, negara ini memang terus memperketat larangan terhadap pakaian dan atribut keagamaan, terutama di sekolah dan tempat kerja.

Dengan undang-undang baru ini, larangan penggunaan hijab akan diperluas hingga ke tempat-tempat publik.

Warga yang melanggar undang-undang ini akan dikenai denda yang tidak kecil. Dikutip dari Euro News, warga biasa akan didenda sebesar 7.920 somoni (sekitar Rp12,1 juta), sementara tokoh agama bisa didenda hingga 57.600 somoni (sekitar Rp88,1 juta).

Selain hijab, undang-undang ini juga melarang tradisi umat Muslim Tajikistan seperti “iydgardak” yang biasanya dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini melibatkan anak-anak yang mengunjungi rumah-rumah dan mendapatkan uang saku.

Pengesahan undang-undang ini mengejutkan banyak pihak mengingat 96 persen dari total 10,3 juta penduduk Tajikistan adalah Muslim, berdasarkan sensus 2020.

Selama ini, pemerintahan Presiden Emomali Rahmon berusaha menerapkan paham sekuler dan mengurangi pengaruh agama dalam politik dan kehidupan sosial.

Keluhan datang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk perempuan yang merasa hak mereka untuk berpakaian sesuai kepercayaan telah dilanggar.

Dikutip dari Radio Free Europe, seorang perempuan bernama Salomat menceritakan pengalamannya. Setelah lulus dari sekolah kedokteran, dia hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat di salon kecantikan di ibu kota Dushanbe karena rumah sakit di Tajikistan melarang penggunaan hijab.

Salomat bukan satu-satunya. Banyak perempuan di Tajikistan menghadapi dilema serupa karena pemerintah sekuler di Dushanbe semakin ketat menerapkan larangan jilbab di berbagai sektor.

Pengesahan undang-undang ini tidak hanya mengundang perhatian, tetapi juga kritik dari berbagai organisasi internasional yang menyoroti kebebasan beragama dan hak asasi manusia.

Tajikistan kini berada di bawah sorotan dunia, dengan banyak pihak yang menunggu untuk melihat bagaimana implementasi dari undang-undang ini akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Langkah ini menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara negara, agama, dan budaya di Tajikistan, sekaligus menyoroti tantangan yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan antara tradisi nasional dan kebebasan individu.

Exit mobile version