Polri Apps
banner 728x90

Tidak Ada Laporan Kematian Masif Akibat Vaksin

Ilustrasi Vaksin COVID-19. (Dok: Kemenkes)

Jakarta, Owntalk.co.id – Baru-baru ini, beredar klaim menyesatkan di media sosial yang menyatakan bahwa penerima vaksin COVID-19 mRNA akan meninggal dalam tiga hingga lima tahun setelah vaksinasi. Narasi ini menyebar luas dan menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Namun, klaim ini sepenuhnya keliru dan tidak berdasar.

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, menegaskan bahwa setelah pemberian vaksin COVID-19, dilakukan Post-Marketing Surveillance (PMS) untuk memantau kondisi kesehatan para penerima vaksin. PMS ini bertujuan untuk mendeteksi dan menganalisis segala kejadian ikutan yang mungkin timbul setelah vaksinasi.

Prof. Hinky menjelaskan, “Apabila dihitung sekarang, sudah lebih dari tiga tahun sejak vaksin COVID-19 mRNA pertama kali diberikan. Jika memang ada kematian massal yang disebabkan oleh vaksin tersebut, pastinya sudah ada datanya yang terlaporkan melalui PMS.”

Prof. Hinky juga menambahkan bahwa hingga saat ini, tidak ada laporan yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah atau oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kematian massal akibat vaksin mRNA. “Di Indonesia, juga tidak ada laporan seperti itu,” tegasnya.

Pada tahun 2022, sebuah video viral di media sosial mengklaim bahwa vaksin COVID-19 mRNA dapat menyebabkan kematian pada lansia berusia di atas 70 tahun dalam dua hingga tiga tahun setelah vaksinasi. Klaim dalam video tersebut telah dibantah oleh banyak ahli dan lembaga kesehatan, termasuk Komnas PP KIPI.

Faktanya, hingga saat ini belum ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa kematian setelah vaksinasi disebabkan secara langsung oleh vaksin mRNA. Prof. Hinky menjelaskan bahwa kasus kematian pasca-vaksinasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, kondisi hormon, dan penyakit bawaan yang dimiliki oleh individu tersebut.

“Itu juga tidak benar. Kematian lansia mungkin lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit bawaan lainnya, atau bahkan oleh infeksi COVID-19 itu sendiri. Sampai sekarang, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 mRNA menyebabkan kematian pada lansia,” ucap Prof. Hinky.

Dalam menghadapi informasi yang beredar, penting bagi masyarakat untuk selalu merujuk pada sumber informasi yang kredibel dan berbasis ilmiah. Penyebaran informasi yang tidak benar tentang vaksin dapat menimbulkan ketakutan yang tidak berdasar dan menghambat upaya vaksinasi yang bertujuan untuk mengendalikan pandemi.

Pemerintah dan berbagai organisasi kesehatan terus mengimbau masyarakat untuk menerima vaksin COVID-19 dan mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Vaksinasi terbukti efektif dalam mencegah penyebaran virus dan mengurangi angka kesakitan serta kematian akibat COVID-19.

Sebagai penutup, Prof. Hinky menegaskan bahwa vaksin COVID-19, termasuk jenis mRNA, telah melalui berbagai tahap uji klinis yang ketat sebelum mendapatkan izin penggunaan darurat. Vaksin ini aman dan efektif untuk digunakan oleh masyarakat.

“Mari kita bersama-sama melawan disinformasi dan mendukung upaya vaksinasi untuk kesehatan dan keselamatan kita semua,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *