Jakarta, Owntalk.co.id – Suku Tengger di Jawa Timur tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga dengan kekayaan budaya dan tradisi yang masih dijaga hingga kini.
Salah satu kearifan lokal yang menarik perhatian adalah tradisi unan-unan, sebuah upacara yang tidak hanya mempersembahkan rasa syukur, tetapi juga mencerminkan usaha memperpanjang bulan dalam kalender suku Tengger, sekaligus sebagai simbol penyatuan dengan alam.
Suku Tengger merupakan salah satu dari sedikit masyarakat adat di Nusantara yang masih menjaga tradisi dan budaya leluhur mereka dengan penuh kehormatan.
Unan-unan adalah salah satu ritual budaya yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, dengan tujuan untuk melengkapi bulan yang hilang dan menjaga keselarasan dengan alam.
Dalam upacara ini, masyarakat Tengger mengadakan persembahan sesaji berupa kepala kerbau sebagai ungkapan rasa syukur kepada alam atas segala karunia yang telah diberikan selama ini.
Kepala kerbau dipilih karena dianggap sebagai binatang pertama yang muncul di bumi oleh suku Tengger. Tradisi ini telah diwariskan turun temurun dan masih terus dilaksanakan hingga saat ini, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan kebanggaan suku Tengger.
Tidak hanya sekadar seremonial, upacara unan-unan juga menjadi ajang untuk menunjukkan kuatnya toleransi di antara sesama anak keturunan suku Tengger.
Meskipun mayoritas memeluk agama Hindu Bali, masyarakat Tengger juga terdiri dari umat Islam dan Buddha, yang sama-sama turut serta dalam perayaan ini dengan penuh kebersamaan dan harmoni.
Selama upacara, setiap desa yang dihuni oleh masyarakat Tengger di kawasan dataran tinggi Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru (TNGBTS) menyajikan sesaji yang terdiri dari 100 tusuk sate, 100 jenis jajanan pasar, dan 100 tumpeng, yang dipadukan dengan kepala kerbau utuh.
Semua sesaji tersebut diletakkan dalam keranda berbentuk tubuh kerbau, yang dikenal sebagai ancak dalam bahasa masyarakat setempat.
Kepedulian terhadap lingkungan dan kearifan lokal menjadi tema sentral dalam unan-unan. Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Lumajang, Agus Triyono, upacara ini bukan hanya sekadar ritual ungkapan rasa syukur semata, melainkan juga sebagai wujud tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan dengan alam.
Meskipun merupakan upacara adat, unan-unan juga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Keunikan upacara ini, yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, memiliki potensi besar untuk menjadi daya tarik pariwisata yang memperkaya pengalaman wisatawan dalam memahami keberagaman budaya Indonesia.
Dengan keunikan budaya yang dijaga dengan sungguh-sungguh oleh suku Tengger, unan-unan tidak hanya menjadi simbol kebijaksanaan alam, tetapi juga memperkuat kebanggaan akan keanekaragaman budaya Nusantara.