Jakarta, Owntalk.co.id – Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama dua organisasi anti korupsi, yakni Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) dan Forum Komunikasi Rakyat Indonesia (Forkorindo) sepakat bersama-sama akan menuntaskan masalah penjualan lahan di kawasan Bandara Hang Nadim Batam. Komitmen itu dicapai dalam Rapat Dengar Pendapat di Ruang Komisi VI, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023.
”Komisi VI DPR akan menindak-lanjuti masalah (Penjualan Lahan di Kawasan Bandara Hang Nadim, Batam, seperti yang disampaikan Perwakilan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Provinsi Kepulauan Riau, dengan memanggil Kepala BP Batam dalam waktu dekat. Informasi yang disampaikan (GN-PK Kepri) kepada kami ini merupakan data penting untuk mengambil langkah-langkah berikutnya,” kata Pimpinan Komisi VI, M Sarmuji, SE, MSi, usai memimpin RDP dengan DPP GN-PK Kepulauan Riau, Kamis, 19/1/2023.
Penjualan lahan kepada empat perusahaan yang telah menerima alokasi itu, antara lain: (a) PT Prima Propertindo Utama, (b) PT Batam Prima Propertindo, (c) PT Cakra Jaya Propertindo, dan (d) PT Citra Tritunas Prakarsa. Padahal, sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor 47 tahun 2022 tentang Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim yang dikeluarkan pada 9 Maret 2022 semua area kawasan bandara yang memiliki total seluas 1.762,700144 hektar itu tidak boleh dialihkan ke peruntukan lain. Namun demi menangguk dolar, kesengsaraan warga tidak berarti apa-apa.
Komisi VI DPR akan menindak-lanjuti masalah (Penjualan Lahan di Kawasan Bandara Hang Nadim, Batam, seperti yang disampaikan Perwakilan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Provinsi Kepulauan Riau, dengan memanggil Kepala BP Batam dalam waktu dekat. Informasi yang disampaikan (GN-PK Kepri) kepada kami ini merupakan data penting untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. M Sarmuji, SE, MSi, Pimpinan Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, Kamis, 19/1/2023.
Dalam RDP disepakati, bahwa masalah hukum akan diproses oleh lembaga penegak hukum. Namun peserta RDP sepakat bahwa pengalokasian lahan yang tidak sesuai hukum bisa saja dibatalkan jika tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Apa yang disampaikan oleh GN-PK Kepri, kata Anggota DPR RI Komisi VI, dapat dipertimbangkan sebelum terjadi masalah yang lebih besar. ”Tetapi kami akan mempertimbangkan (masalah lahan di Bandara Hang Nadim) setelah mendapatkan keterangan yang cukup dari semua pihak. Semua akan dipertimbangkan, namun masalah korupsi akan dibahas oleh pihak yang berwenang, tetapi kami dapat mencium adanya aroma (korupsi) itu,” kata Ananta Wahana.
Dalam RDP dengan Komisi VI, GN-PK Kepri dibantu partner investigasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forkorindo, yang dihadiri oleh Ketua Umum Forkorindo, Tohom TPS, dan Wakil Ketua DPP Forkorindo, Mangitua Sinaga SE. Dalam pembahasan, GN-PK bersama Forkorindo mengemukakan 5 masalah penting yang menghambat kemajuan Batam sebagai pusat industri dan lokomotif perekonomian RI. Masalah itu antara lain: (1) Penjualan Lahan Bandara; (2) Pencabutan Lahan dan Pengalokasian Lahan Merugikan Investasi, antara lain lahan Indah Puri, lahan Pura Jaya, lahan Hotel Bali, lahan PT SHB; (3) Status Ex Officio sudah Kadaluarsa, (4) Investasi Terjun Bebas, Pengangguran Meningkat; dan (5) Proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Salah satu Anggota DPR RI, Ir H La Tinro La Tunrung, dari Fraksi Gerindra, menyoroti modus pengusaha dan BP Batam dalam penarikan serta pengalokasian lahan di Batam. ”Siapa yang menentukan tarif sewa lahan di BP Batam, dan mengapa pemilik apartemen (Puri Indah) tidak bisa membayar langsung sewa lahan ke BP Batam, apakah alas hak yang mereka miliki tidak cukup untuk mengelola lahan (tempat apartemen) yang telah dibelinya, sehingga masalah pengrusakan apartemen harus terjadi,” tanya anggota DPR RI itu.
Ketua GN-PK Muhammad Agus Fajri menjelaskan, BP Batam terlihat berlindung di balik kewenangan mencabut dan mengalokasikan lahan dari satu investor ke investor baru, karena alasan adanya ‘fee’ atau komisi (praktik suap) dalam transaksi jual beli lahan di Batam. ”Kami memiliki banyak data, di mana BP Batam telah berubah menjadi juragan tanah yang memperjual-belikan lahan, sehingga perusahaan yang masih mengelola lahan pun, dapat dicabut haknya atas lahan yang dikelola untuk dijual kembali ke investor baru yang membayar ‘fee’ lebih mahal. Kami siap berbagi informasi serta bukti dengan Komisi VI,” kata Agus Fajri.
Komisi VI DPR RI merupakan satu dari 11 (sebelas) Komisi yang ada di DPR RI yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang: Perdagangan; Koperasi UKM; BUMN; Investasi; dan Standarisasi Nasional. Komisi ini juga bermitra dengan Kementerian Perdagangan; Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah; Kementerian Negara BUMN, termasuk seluruh BUMN; Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM); Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); Badan Standarisasi Nasional (BSN); Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam; Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang; Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN); dan Dewan Koperasi Indonesia.
Dalam rapat juga dibahas tentang fakta Wali Kota Batam sebagai Ex Officio Kepala BP Batam yang disebut sebagai praktik lain dari rangkap jabatan. ”Ini adalah rangkap jabatan, dan menjadi sumber ‘malapetaka’ bagi warga Kota Batam. Karena Walikota yang harusnya melayani dan memikirkan kehidupan warga, justru lebih asyik bermain proyek-proyek di BP Batam. Ujung-ujungnya supaya dapat cuan. Apalagi, ini kan mau Pilkada Serentak 2024, dan kabarnya dia (Rudi) mau maju sebagai Gubernur Kepri,” kata Ketum Forkorindo, Tohom TPS.
Anggota Komisi VI yang hadir mengaku kaget dengan banyaknya aduan GN-PK yang penting untuk ditindak-lanjuti. ”Kami kaget mendapat laporan ini. Pasti akan kami panggil (Kepala BP Batam). Kasihan warga di sana, apalagi Batam dikenal sebagai daerah investasi strategis,” tutur Doni Akbar, seorang anggota dari Fraksi Partai Golkar. Dia menunjukkan, seperti proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang menyengsarakan banyak sub kontraktor yang belum dibayar oleh main kontraktor akibat pengerjaan yang berkepanjangan dan diduga penuh dengan praktik korupsi. (*)