Akankah Baju Orange Dikenakan ke ‘Tumbal’ SIMRS

Tangkapan layar Surat Perjanjian Pengadaan SIMRS antara RSBP Batam dengan RS Pelni. (Owntalk)

Batam, Owntalk.co.id – Sesuai informasi yang diperoleh Owntalk.co.id dari internal Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam, besok, Rabu, 11/1/2023, Kejari Batam memanggil dan memeriksa tersangka Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) BP Batam 2018. Rudi Mardianto dan Priyono Al Priyanto, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama telah dijerat dengan pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang biasanya akan langsung ditahan.

Akankah Kejari Batam tega menjebloskan keduanya ke balik jeruji besi, tidak ada yang dapat memprediksi. Banyak pihak yang menyayangkan kasus SIMRS, karena terdapat maladministrasi pengelolaan kekuasaan, antara kekuasaan kehakiman (baca: judikatif) yang bercampuraduk dengan kekuasaan eksekutif. ”Kasus (SIMRS) itu dipaksakan, dan terlihat banyak kejanggalan,” kata seorang praktisi hukum kepada Owntalk.co.id, Selasa, 10/1/2023.

Besok Rabu 1112023 tersangka SIMRS 2018 akan diperiksa sebagai tersangka Owntalk

Namun demi menjaga marwah kejaksaan, berbagai kalangan menilai Kejari Batam akan tega melakukannya. Sebagaimana mereka tega melepaskan pelaku-pelaku proyek SIMRS pada Oktober 2020 yang menghabiskan anggaran Rp1.260.000.000 hanya untuk proyek pengadaan abal-abal. Sebab Rumah Sakit PT Pelni bukanlah perusahaan pembuat aplikasi, namun ditunjuk sebagai penyedia (perangkat lunak/software) dalam sebuah Surat Perjanjian Pengadaan SIMRS.

Berbagai pertanyaan yang dilontarkan pihak yang melek teknologi kepada Kejari Batam, yakni apakah benar aplikasi SIMRS yang dibangun pada 2018 terbukti gagal dan tidak dapat digunakan, sehingga harus kembali dilakukan pengadaan SIMRS pada 2020? Jika benar gagal, mengapa digunakan sejak selesai dibuat hingga kini masih tetap digunakan? Mengapa tidak ada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut proyek itu merugikan negara? Bahkan dalam laporan keuangan BP Batam pada 2019, yang telah diaudit lembaga itu, tidak ada catatan miring dari SIMRS BP Batam.

Laporan keuangan BP Batam yang diaudit BPK pada 2018 dan 2019 tidak mencatat kerugian yang ditimbulkan SIMRS BP Batam. Bahkan dalam penggunaan aplikasi itu, RSBP Batam telah menerima Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak sedikit, meski tidak dirinci berapa PNBP yang diterima. Tetapi fakta mengungkap bahwa aplikasi itu lancar digunakan selama beberapa tahun, dan tidak ada keluhan dari pengguna. Meski demikian, tampaknya Rudi Martono dan Priyono Al Priyanto harus di’tumbal’kan.

Hasil audit BPK yang tidak menemukan masalah di SIMRS BP Batam 2018, tak membuat surut Kejari Batam untuk mencari-cari tersangka yang disinyalir dijadikan tersangka. Itulah sebabnya Kejari, pada awal Agustus hingga Oktober 2022 mendesak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kepulauan Riau. Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Batam, Aji Satrio Prakoso, mengatakan pihaknya telah menyurati BPKP sejak beberapa waktu lalu untuk melakukan penghitungan kerugian negara. ”Sudah kami surati BPKP. Kemudian dibalas untuk melakukan perhitungan sejak tanggal 1 Agustus hingga 4 Oktober 2022.” Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Batam, Aji Satrio Prakoso

Hasil audit BPK yang tidak menemukan masalah di SIMRS BP Batam 2018, tak membuat surut Kejari Batam untuk mencari-cari orang (luar lingkaran kekuasaan) yang akan dijadikan tersangka. Itulah sebabnya Kejari, pada awal Agustus hingga Oktober 2022 mendesak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kepulauan Riau. Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Batam, Aji Satrio Prakoso, mengatakan pihaknya telah menyurati BPKP sejak beberapa waktu lalu untuk melakukan penghitungan kerugian negara. ”Sudah kami surati BPKP. Kemudian dibalas untuk melakukan perhitungan sejak tanggal 1 Agustus hingga 4 Oktober 2022,” ujar Aji Satrio.

Itulah gambaran ‘kotor’nya penegakan hukum di Indonesia. BPK sebagai auditor tidak menemukan masalah dalam SIMRS BP Batam. Menjadi sangat aneh jika BPKP dipaksa menemukan penyimpangan penggunaan anggaran. Padahal, BPKP adalah pengawas, bukan auditor. Berdasarkan Keppres nomor 103 tahun 2001 BPKP merupakan aparat pengawas intern pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan Perpres tersebut, BPKP mempunyai tugas utama menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional, bukan auditor.

Mari kita lihat beberapa pokok permasalahan dalam pengadaan SIMRS PELNI yang dipaksakan oleh Kejari Batam di bawah intervensi Biro Hukum BP Batam.

  1. Nilai proyek Rp1.260.000 dibelanjakan dengan penunjukan langsung (PL) tanpa menghiraukan Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
  2. Proses penggantian SIMRS 2018 ke SIMRS PELNI tidak melalui prosedur yang seharusnya, yaitu: (a) Tidak ada assesment dari lembaga independent yang memiliki kompetensi di bidangnya; (b) Tidak ada kajian teknis dari Tim Teknis Pusat Pusat Data dan Sistem Informasi (PDSI) dan RSBP Batam; (c) Tidak ada keluhan atau pengaduan terhadap layanan RSBP Batam yang masih menggunakan SIMRS 2018; (d) SIMRS 2018 masih berfungsi dengan baik dan tidak ada keluhan; (e) Penggantian aplikasi (SIMRS 2018 ke SIMRS 2020) hanya berdasarkan hasil rapat pimpinan BP Batam.
Illustrasi SIMRS RS Pelni Istimewa

Dalam satu kesempatan bertemu dengan salah satu tersangka, Owntalk.co.id hanya dapat mendengar curahan hati yang sedang tertekan. Dia terancam dipenjara seumur hidup atau 20 tahun, sesuai dengan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 1 yang menyebut: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Satu nara sumber media ini menjelaskan proyek SIMRS 2018 sebenarnya tidak ada masalah. Hingga muncul proyek SIMRS 2020 yang jelas-jelas ‘merampok’ uang negara secara bulat-bulat. Kenapa disebut bulat-bulat, karena proyek itu sebenarnya tidak ada. RS PELNI bukanlah pembuat aplikasi, dia hanya menawarkan SIMRS yang dia pakai yang merupakan produk IT pihak lain. Tidak ada istilah pengadaan dalam proyek SIMRS 2020. ”Hanya membawa hard disk, copy aplikasinya, dan pindahkan ke perangkat RSBP Batam, selesai. Proses itu dihargai dengan Rp1,26 miliar,” ujar sumber itu.

Tindakan pengadaan aplikasi SIMRS abal-abal antara RSBP Batam dengan RS Pelni itu, kata sumber media ini, telah melukai rasa keadilan dan hati nurani sejumlah pihak di internal RSBP Batam, yang mendorongnya melaporkan kasus SIMRS. Tetapi, dorongan hati untuk membongkar kejahatan itu, dibalas dengan upaya internal BP Batam yang justru berbalik melaporkan kasus SIMRS BP Batam 2018. ”Itulah puncaknya, sehingga proyek SIMRS 2018 dicari-cari kelemahannya, tetapi tidak ditemukan, pada akhirnya BPKP dipaksa mengeluarkan pernyataan kerugian negara,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version