Jakarta, Owntalk.co.id – Produksi minyak dan gas (migas) nasional hingga kini masih menghadapi tiga tantangan. Yang pertama adalah lapangan produksi yang sudah cukup tua. Kedua, dinamika ekonomi global yang berpengaruh pada harga minyak dan investasi migas. Lalu ketiga, regulasi yang dinilai masih belum memberikan insentif yang menarik bagi investor.
Namun, bagi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sejumlah kendala itu justru menjadi tantangan. Apa sebenarnya alasan memberikan mandat kepada SKK Migas?
SKK Migas merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan kontrak kerja sama. Pembentukan lembaga itu dimaksudkan agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nah, SKK Migas pun telah menetapkan sebuah misi, yakni menggenjot produksi migas, terutama menuju sasaran target produksi 1 juta barel per hari (barrel oil per day/ BOPD) minyak dan 12 miliar kaki kubik per hari (billion standard cubic feet per day/ BSCFD) gas pada 2030.
Tentu untuk mencapai ambisi itu bukan pekerjaan mudah bagi SKK Migas. Sejumlah harapan pun diapungkan lembaga itu, agar bisa mencapai target.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengharapkan adanya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Demi mencapai target tersebut, tidak tanggung-tanggung, SKK Migas menyebutkan angka investasi yang dibutuhkan, yakni bernilai USD179 miliar.
“Untuk mencapai target jangka panjang ini, kami perkirakan industri hulu migas akan membutuhkan total investasi sebesar USD179 miliar dan persaingan untuk mendapatkan investasi di bidang migas juga semakin meningkat,” ujar Dwi Soetjipto, dalam International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 (IOG 2022), di Nusa Dua, Bali, Rabu (23/11/2022).
Dwi mengakui, investasi adalah salah satu masalah. Pada 2022, perusahaan hulu migas cenderung menahan investasi mereka pada portofolio berisiko.
Berdasarkan catatan SKK Migas, hingga kuartal III-2022 realisasi investasi mencapai USD7,7 miliar, di bawah target sepanjang tahun ini sebesar USD13,2 miliar. Namun, realisasi investasi di sektor hulu migas ini menjadi investasi terbesar secara rata-rata dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, sejak 2016.
Transisi energi yang menjadi tren global saat ini, kata Dwi, menjadi salah satu hal yang mempengaruhi industri hulu migas. Namun, setelah Protokol Kyoto, Perjanjian Paris, dan G20 terbaru, banyak negara, termasuk Indonesia, menegaskan komitmen penuh untuk mengurangi emisi karbon.
Pada industri hulu migas, SKK Migas telah melihat upaya beberapa perusahaan migas besar untuk melakukan pengurangan emisi karbon dan memasukkan investasi pada energi terbarukan dalam strategi portofolio mereka.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang berbicara sebagai keynote speaker mengatakan, tema IOG 2022, yaitu “Boosting Investment & Adapting Energy Transition Through Stronger Collaboration” selaras dengan salah satu kesepakatan dalam KTT G20 yang berlangsung pekan lalu, yaitu penekanan atas pentingnya ketahanan energi serta kesiapan untuk melakukan segala upaya menuju transisi energi yang berkelanjutan.
Ditambahkannya, guna mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi negara maju di 2045, pertumbuhan ekonomi kita perlu didukung oleh pasokan energi yang cukup. Oleh karena itu, pemerintah sepenuhnya mendukung visi bersama sektor hulu migas, yaitu target produksi 1 juta BOPD dan 12 BSCFD gas yang dicapai pada 2030.
“Jika target ini tercapai, maka akan mengurangi defisit neraca perdagangan dan memperkuat struktur anggaran negara kita sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen,” tambah Menko Luhut.
Pemerintah Indonesia, kata Luhut, siap memberikan dukungan bagi pencapaian target produksi migas 2030 tersebut. “Pemerintah sudah mengidentifikasi serangkaian insentif fiskal untuk mencapai target ini,” ujar Luhut.
Sejumlah langkah telah ditempuh dan sejumlah kebijakan sedang difinalisasi untuk mendistribusikan insentif finansial kepada Kontraktor KKS dan lapangan-lapangan tertentu dalam rangka meningkatkan produksi. Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, investasi di bisnis hulu migas di Indonesia sangat menantang terutama dari sisi pembiayaan.
Biaya untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan produksi semakin meningkat sehingga Indonesia sangat membutuhkan investasi yang besar untuk menaikkan produksi migas nasional.
Untuk itu, pemerintah telah melakukan beberapa terobosan dalam hal kebijakan, di antaranya melalui fleksibilitas kontrak (PSC Cost Recovery atau Gross Split PSC), perbaikan terms & conditions pada lelang wilayah kerja, insentif fiskal dan nonfiskal, pengajuan perizinan secara online, dan penyesuaian regulasi untuk migas nonkonvensional.
“Selanjutnya untuk menarik investasi kita akan merevisi Undang-Undang Migas tahun 2021, dengan memberikan beberapa hal seperti perbaikan kebijakan fiskal, assume and discharge, kemudahan berusaha, dan kepastian kontrak,” ujarnya.
Dia menambahkan, pemerintah terbuka untuk melakukan dialog dengan operator dan investor dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kompetitif serta meningkatkan keekonomian proyek hulu migas. Berkaitan dengan rencana pemberian insentif, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah perlu merevitalisasi kebijakan agar mampu menciptakan iklim investasi yang tepat bagi industri hulu sekaligus tetap berkomitmen pada mekanisme transaksi energi.
Salah satunya adalah melalui kebijakan fiskal. “Kebijakan fiskal merupakan perangkat penting bagi kita untuk dapat merespons situasi dan tantangan seperti ini. “Kami akan terus menggunakan kebijakan fiskal agar dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara kebutuhan Indonesia akan ketahanan dan kepastian energi, sekaligus mewujudkan komitmen transisi energi yang kredibel,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan fiskal, baik dalam bentuk instrumen pajak, maupun pajak langsung seperti pajak penghasilan, dan juga melalui kebijakan kepabeanan, akan dapat memberikan kerangka kebijakan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas ekonomi, menghasilkan bauran energi yang tepat di Indonesia, baik bahan bakar fosil maupun bahan bakar non-fosil, namun tetap konsisten dengan transisi energi.