Batam, Owntalk.co.id – Melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi negeri sudah pasti menjadi impian mereka yang baru saja tamat sekolah menengah atas. Bisa diterima di perguruan tinggi negeri tentu bukan perkara mudah. Apalagi bagi mereka yang tinggal dan mengenyam pendidikan di hinterland.
Anak hinterland kerap dianggap tak mampu bersaing dengan anak-anak di kota-kota besar yang kualitas pendidikannya jauh lebih baik.
Menurut data yang disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kepri, Sirajuddin Nur, hampir 80 persen anak hinterland di Batam tak memiliki akses untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hanya 20 persen lulusan SMA dan SMK dari hinterland yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Namun, anak hinterland yang satu ini berhasil menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing dengan anak-anak yang tinggal di berbagai kota besar di Indonesia. Adalah Nataya Diyandra Calysta, gadis kelahiran Kecamatan Belakangpadang, pulau yang dijuluki sebagai Pulau Penawar Rindu, 30 April 2004. Nataya, lulusan SMA Negeri Belakangpadang ini adalah putri tunggal dari pasangan Pujiman dan Nony Riska Susanti.
Nataya adalah satu dari beberapa anak hinterland yang behasil masuk ke Universitas Negeri Semarang (Unnes) melalui jalur SNMPTN tahun 2022. Tak hanya itu, setelah diterima di Unnes, Nataya pun berhasil lolos seleksi kelas internasional Unnes 2022. Nataya adalah salah satu dari 17 mahasiswa yang diterima dari 400 mahasiswa yang bersaing untuk bisa masuk di kelas internasional.
“Alhamdulillah, suatu kebanggan bagi Nataya bisa masuk program studi manajemen kelas internasional dan bergabung dengan mahasiswa dari luar negeri yakni Kyrgyzstan dan Timur Leste. Satu kelas hanya 23 mahasiswa saja dan berkesempatan besar mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri,” ujarnya Nataya, Sabtu (25/9/2022).
Sebelum lolos seleksi kelas internasional, Nataya mengaku sedikit minder dengan mahasiswa lain yang berasal dari kota besar. Sebab, selain belajar bahasa Inggris di sekolahnya, Nataya mengaku belajar bahasa Inggris hanya dari les private rumahan di pulau tempatnya tinggal. Sementara ia harus bersaing dengan mahasiswa yang belajar bahasa Inggris di lembaga bimbingan belajar yang kualitasnya jauh lebih baik.
Setelah gigih belajar dan semangat serta tekad yang kuat untuk meraih prestasi, Nataya mampu membuktikan jika anak hinterland juga bisa bersaing hingga berprestasi. Namun demikian, Nataya mengaku jika keberhasilannya meraih mimpi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi negeri ini tidak terlepas dari bimbingan guru-guru dan kedua orangtuanya.
“Terima kasih untuk semua guru di SDN 01, SMPN 01, SMAN 2, dan juga untuk guru les bahasa Inggris mam Hudayani yang sudah membimbing saya hingga bisa meraih mimpi,” katanya.