Adapun sisanya sekitar 70 persen atau Rp1.435 triliun inilah yang kemudian menjadi gap yang harus didanai dari luar anggaran, dalam hal ini swasta. Persoalannya, risiko yang begitu tinggi ditambah ketidaklayakan proyek secara finansial, menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk dapat menawarkan sarana infrastruktur.
Pasalnya secara naluri, tentu swasta tidak ingin melakukan investasi kepada proyek yang memiliki profitabilitas rendah dan berisiko tinggi. Apalagi proyek infrastruktur memiliki karakteristik jangka panjang.
Keseriusan pemerintah untuk mengedepankan skema KPBU haruslah dapat menjawab keraguan dan keengganan swasta. Salah satu instrumennya adalah dengan memberikan fasilitas berupa dukungan semisal jaminan dan insentif perpajakan sebagai pemanis.
Dengan demikian, sejumlah proyek KPBU yang ditawarkan itu bisa menjawab sesuai komitmen pemerintah untuk meneruskan pembangunan infrastruktur meskipun Indonesia sedang menghadapi pandemi. Langkah tersebut dibutuhkan agar ekonomi biaya tinggi dapat terus ditekan dan iklim investasi di tanah air menjadi lebih baik lagi.
Dalam laporannya yang dirilis belum lama ini, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) mengungkap bahwa saat ini terdapat 50 proyek yang dibiayai menggunakan skema KPBU. Nilainya mencapai Rp241 triliun. “Hingga saat ini ada 50 proyek KPBU yang tersebar di seluruh Indonesia, yang meliputi 72 persen proyek dari pemerintah pusat, dan sisanya sekitar 28 persen dari pemerintah daerah,” kata Kepala Subdirektorat Dukungan Pemerintah DJPPR Kemenkeu Yonathan Setianto Hadi pada talkshow Indonesia’s Sustainable Projects, Rabu (22/12/2021).
Pertanyaan berikutnya, apa saja klasifikasi sektor yang dibiayai melalui skema KPBU. Menurut data DJPPR Kemenkeu, proyek itu terdiri dari sebanyak 17 proyek KPBU sektor jalan, 10 proyek sektor air, 3 proyek sektor energi, 4 proyek sektor ICT, dan 6 proyek sektor transportasi.
Halaman selanjutnya…

