Polri Apps
banner 728x90

Bagaimana Tanggung Jawab Moral Bagi Hakim yang Ditangkap KPK

Hakim Sudiwardono tertangkap basah menerima suap dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aditya Anugerah Moha di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Jumat (06/10/17). Aditya memberi sang hakim uang dalam bentuk dollar Singapura yang setara dengan Rp 1 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat keduanya setelah transaksi.

Sudi dan Aditya sudah beberapa kali berkomunikasi via telepon sebelum terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, keduanya menggunakan kata sandi “pengajian” untuk melakukan pertemuan.

Suap ini dimaksudkan Aditya sebagai “uang tebusan” untuk membebaskan ibunya, Marlina Moha Siahaan, yang menjadi terdakwa dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi (PT) Manado, Sulawesi Utara. Marlina, Bupati Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2011, tersangkut kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow.

Cukup jelas, sogok diberikan bukan tiba-tiba, melainkan sudah dikondisikan sebelumnya. Sudah terjalin komitmen lebih dulu. Sudah terjadi konspirasi alias kongkalikong. Artinya, mereka sadar sedang melaksanakan “pengajian” yang content (isinya) mengingkari perintah Tuhan.

Penggunaan mata uang asing dimaksudkan agar lebih ringkas dibandingkan rupiah. Kurs satu dollar Singapura hampir setara dengan Rp10 ribu. Jadi, dollar Singapura itu cukup dimasukkan ke dalam beberapa amplop. Kalau menggunakan rupiah, uang Rp 1 miliar mungkin harus dimasukkan ke satu koper.

“Ini semakin memperkuat pendapat bahwa dunia peradilan kita bobrok,” kata Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, seperti dikutip kompas.com, Minggu (08/10/17).

Menurut Hakim Agung Gayus Lumbuun, yang tertangkap KPK ini adalah yang tampak di permukaan. Yang tersembunyi justru jauh lebih banyak lagi. Dia tidak menampik kemungkinan bakal ada lagi hakim-hakim lain tersengat KPK berikutnya. Dia prihatin karena hanya dalam tempo beberapa bulan banyak hakim terjaring korupsi.

Mahkamah Agung (MA) langsung memberhentikan sementara Sudi dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Herry Swantoro. MA menilai Herry ikut bertanggung jawab. Sebab, Herry atasan langsung para hakim tingkat banding dan ketua PT. Herry tidak melaksanakan dengan benar tugas pembinaan dan pengawasan terhadap bawahannya. Demikian keterangan pers Ketua Kamar Pengawas MA Sunarto.

Aksi MA ini rasanya masih bersifat reaktif. Sekaligus juga mengundang pertanyaan, mengapa hanya Herry yang ketiban pulung? Sebab, bila alasannya dia atasan langsung Sudi, bukankah Herry juga punya atasan langsung, yakni Ketua MA Hatta Ali? Kalau mau fair, mestinya kesalahan itu ditanggung renteng. Hatta Ali juga harus diberhentikan sementara.

Jadi, tak usah heran bila Gayus meminta “pertanggungjawaban” moral Hatta Ali. “Ketua MA harus mundur sebagai bentuk tanggung jawab etika dan moral,” kata Gayus di kompas TV. Pendapat ini dia ulang di beberapa TV swasta lain.

Bersamaan dengan itu, MA harus melakukan koreksi dan evaluasi total terhadap sistem peradilan. “Sistem itu minimal mencakup rekrutmen, pembinaan, pengawasan, mutasi, administrasi, dan transparansi,” kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan

Penulis: Bisnisnews