Setiap orang tentu punya mimpi dan harapan dalam hidupnya. Ada yang sekedar bermimpi di malam hari sebagai bunga tidur, lalu ada pula yang bermimpi kemudian bangun untuk mewujudkannya. Tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan. Maka dari itu, berjuanglah untuk mimpi-mimpi yang kita punya.
”Hidup tanpa mimpi itu hampa. Jika kamu tak punya mimpi, maka buat lah satu. Jika kamu punya mimpi, kejar mimpimu” – Wilz Kanadi
Mimpi yang jadi nyata merupakan kenikmatan yang tiada duanya. Hal itu lah yang tengah dirasakan oleh H. Munawar. Pasalnya, pria kelahiran 29 April 1973 itu lahir dari keluarga yang serba berkekurangan. Namun, kini ia dapat menggapai satu persatu mimpinya.
Munawar lahir dan besar di kampungnya Karangasem, Gumpang, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jito Miharjo, merupakan seorang petani, sedangkan ibunya, Sugiem, adalah penjual sayur.
Masa kecilnya dipenuhi dengan lika liku kehidupan yang rumit. Sehari-hari, H. Munawar harus membantu orang tuanya ke sawah untuk menolong pekerjaan sang ayah. Tak kala, ia juga terkadang harus mengembala kambing sebagai penghias hari-harinya. Hidup yang keras bagaikan makanan sehari-harinya yang sudah ia rasakan sejak dulu.
Memakan nasi bekas yang dijemur merupakan hal yang lumrah bagi keluarga Munawar disaat musim paceklik tiba. Orang-orang mengalami susah pangan yang mengakibatkan sulit untuk hanya mencicipi nasi yang baru.
“Tahun 1986 sampai 1987 itu lagi susah pangan. Makan waktu itu cuman nasi bekas yang sudah dijemur. Kadang-kadang makan nasi jagung,” ujar Munawar sembari mengingat kenangan pahitnya.
Dengan usaha orang tuanya yang tidak kenal lelah demi menyekolahkannya, Munawar dapat merasakan indahnya belajar dari mulai Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan tinggi. Ia merupakan alumni dari SD Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM). Sekolah itu terletak di Surakarta, Jawa Tengah tempat Munawar menghabiskan masa kecilnya.
Semasa SD, dirinya jauh dari kata manja sebagai seorang anak kecil. Hidup yang ia lalui begitu keras hingga dirinya lupa bagaimana rasanya dibuai oleh kesenangan. Pergi mengembala kambing sembari belajar hingga jalan ke Sekolah sejauh 3 KM sudah biasa ia lakukan. Bahkan, untuk membeli sepatu, tas, dan bukupun dirinya tak mampu. Munawar kecil harus pergi ke Sekolah menggunakan sendal jepit dikarenakan tak ada satupun sepatu yang dapat ia gunakan.
“Dulu belajar sambil mengembala kambing. Untuk beli tas, buku sama sepatu dulu susah. Jadi kalau ke Sekolah itu, saya pakai sendal jepit,” ujar pria berusia 48 tahun itu.
Kehidupan berat yang ia jalani sebagai seorang anak SD, lantas tak membuatnya menyerah dan malas untuk belajar. Begitu kuat keinginannya untuk dapat mengenyam pendidikan. Ia bermimpi untuk dapat menjadi orang sukses kala ia dewasa, hingga dirinya harus rela kehilangan masa kecilnya. Sang ayah yang terus memotivasi Munawar untuk terus belajar dan tak mengikuti jejaknya kelak sebagai seorang petani.
“Bapak pernah bilang sama saya kalo saya harus jadi seorang Sarjana. Jangan mengikuti jejaknya sebagai petani juga. Jadi, saya benar-benar giat dalam usaha dan terus belajar. Saat teman-teman saya main layangan, saya harus kesawah. Saat teman-teman saya main kelereng, saya belajar sambil kerja.” lirih Munawar pilu.
Dilatarbelakangi oleh kedua orang tua yang tidak pernah mengenyam pendidikan, tidak dapat membaca atau bahkan menulis, membuat Munawar merasa kesulitan untuk belajar. Saat ada tugas sekolah, dirinya tak tahu harus bertanya kepada siapa. Namun hal itu tak mematahkan semangatnya. Dengan uang yang diberikan orang tuanya, ia membeli buku untuk belajar secara otodidak.
Dunia terasa berbeda saat Munawar menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dimana kondisi ekonomi keluarganya yang mulai membaik. Sehingga dirinya dapat fokus bersekolah dan belajar. Munawar merupakan anak yang pintar dan cekatan. Hal itu dibuktikan dari peringkat pertama yang terus ia raih semasa ia bersekolah. Mimpi yang terus ia perjuangkan hingga ia mampu lulus dengan nilai yang memuaskan.
Namun keinginan Munawar untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi harus terhenti sementara. Kedua adiknya yang kala itu akan melanjtkan pendidikan SMP dan SMA membutuhkan banyak biaya sehingga dirinya terpaksa mengalah. Berdiam diri dirumah, melamun dan bermain semasa cuti bukanlah jiwa seorang Munawar, melainkan dirinya bekerja dan mengumpulkan uang guna mengejar mimpinya itu. Jakarta merupakan kota pilihannya kala itu untuk menghasilkan pundi-pundi Rupiah. Bekerja sebagai operator disalah satu perusahaan keramik merupakan langkah awalnya untuk mengumpulkan uang.
“Saya sempat telat masuk kuliah selama dua tahun karena adik-adik saya akan masuk SMP dan SMA. Jadi saya harus mengalah. Selama saya cuti, saya kerja di Jakarta Selatan pada perusahaan keramik sebagai operator. Setelah uang saya terkumpul, pada saat itu lima juta, saya langsung menyambung pendidikan di perguruan tinggi,” jelas Munawar.
Perjalanan hidup yang berat terus ia rasakan hingga dirinya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Politeknik Pratama Mulya Surakarta. Dimana pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan perekonomian rakyat menjadi sulit. Hal itu juga dirasakan oleh Munawar muda, sehingga untuk membiayi sekolah dan memenuhi kebutuhannya, ia harus bekerja. Mulai dari menjadi kuli bangunan hingga pedagang asongan di terminal solo pun ia lakoni. Tak kenal malu dan pantang menyerah untuk menggapai mimpi.
Meskipun tertatih-tatih, Munawar tetap bisa menamatkan pendidikannya tepat waktu. Betapa bangganya sang ayah melihat anaknya telah menjadi Sarjana. Mimpi-mimpi yang ia miliki satu persatu mulai menjadi kenyataan dengan kerja keras serta semangat juangnya yang tinggi. Menyandang gelar Sarjana merupakan kebanggaan tersendiri bagi Munawar dikala teman-teman sebayanya yang berada dikampung hanya menamatkan sekolah sebatas SD atau SMP. Olokan dari teman-temannya yang dulu menghinanya kini telah berbuah manis.
Baca Halaman Selanjutnya …