Opini  

Akrobatik Politikus Kutu Loncat Pada Pilkada

Atanasius Dula, S.A.P (Doc : Owntalk)

Batam, Owntalk.co.id – Menjelang perhelatan pesta demokrasi, baik dalam skala Nasional maupun regional, ruang publik selalu dijejali aneka trik dan intrik yang mewarnai dinamika politik, entah itu manuver politik yang dilakukan oleh partai-partai politik, maupun kelakuan para politisi yang mempertontonkan perilaku inkonsistensi, inkompatibilitas sekaligus paradoks, yang kemudian menjadi menarik untuk dikupas tuntas oleh para pengamat publik, yang diramu dengan kajian yang biasa-biasa saja, hingga menggunakan titik bidik berbeda, untuk menilik dari sisi lain fenomena dinamisasi politik, yang senantiasa mengalami perubahan setiap lima tahunan ini.

Bila Minggu yang silam pembaca menyantap sajian opini bertajuk “Kepri dalam Cengkraman Politik Dinasti” yang memberikan edukasi kepada publik agar memilih pemimpin yang berpancang amanah, dan bukan memanfaatkan amanah rakyat demi melestarikan oligarki kekuasaan, yang kemudian membuat banyak pihak gerah dan gelisah; maka pada tulisan kali ini, penulis sengaja meracik menu tulisan dengan cita rasa yang berbeda, yang diberi judul “Akrobatik Politikus Kutu Loncat Pada Pilkada Kepri” untuk menganalisa fenomena laku politisi yang haus kekuasaan, dengan cara berkelana dari satu partai ke partai yang lain, hanya demi sebuah misi terselubung, yakni misi untuk melanggengkan kekuasaan.

Benar bahwa gelanggang politik adalah gelanggang yang yang senantiasa dinamis, ruang di mana segala sesuatu bergerak dan berubah dengan cepat, hingga publik menjadi akrab dengan adagium klasik yang berbunyi “tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Menjadi wajar jika dalam dunia politik, kita kerap menjumpai elite yang ucap dan lakunya merepresentasikan adagium dalam sosiologi Jawa, yakni, “esuk kedele, sore tempe”, (pagi masih kedelai, sorenya berubah jadi tempe).

Membaca laku politisi yang demikian dalam konteks politik Kepri hari-hari ini, yang kemudian penulis menamainya sebagai “akrobatik politikus kutu loncat”, sebuah gelar benada alegori yang menggambarkan laku politisi yang lebih didasari hasrat meraih kekuasaan, bukan memperjuangkan perubahan sosial. Perilaku politikus kutu loncat ini, tidak hanya mudah berpindah-pindah partai dan haluan politik, namun ia juga lihai bergonta-ganti ideologi dan identitas. Sialnya, mereka juga piawai memacak citra serta jago menyusun argumen untuk membenarkan tiap manuver politik yang dilakukan. Fenomena laku politisi “kutu loncat” ini, bukan sebuah fenomena terayar, namun hanya sebuah repetisi buruk dari sebuah perilaku, yang kerap menjadi tontonan publik tiap hajatan politik, tidak terkecuali pada kontestasi pilkada 2020 di Provinsi Kepulauan Riau ini.

Pada tulisan kali ini, penulis mencoba menakar gerak politik Bapak Isdianto, calon petahana Gubernur Kepri nomor urut 2, yang dalam rentang waktu yang relatif singkat, melakukan manuver politik, sebuah proses perpindahan haluan politik yang terbilang drastis, untuk juga mengatakan kontroversial. Analisis ini menarik untuk di ulas, mengingat perilaku politikus masa kini yang kelak menjadi calon pemimpin negeri Segatang Lada ini, wajib mendapatkan catatan kritis agar kelak memberikan edukasi yang benar bagi khalayak yang akan dipimpinnya.

Ironi Dan Absurditas Politik Kutu Loncat

Fenomena politikus kutu loncat menjadikan wajah perpolitikan kita sarat dengan nuansa ironi dan absurditas. Ironi Politik, mengutip pendapat John Evan Seery dalam bukunya Political Return: Irony and Politics and Theory from Plato to the Antinuclear Movement, adalah sebuah kondisi dimana ruang-ruang politik sesak oleh berbagai macam bentuk kontradiksi, pertentangan disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas sekaligus paradoks.

Secara hukum, memang tidak ada yang salah dengan fenomena politikus kutu loncat. Dalam sistem demokrasi seperti kita anut, setiap orang tentu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kecenderungan politiknya, termasuk berpindah partai, bahkan ideologi sekalipun. Namun demikian, fenomena politikus kutu loncat bukan tidak menyisakan persoalan.

Dalam konteks politik lokal, ironi politik sebagaimana dimaksud Seery tersebut tampak jelas dalam perilaku para elite politik yang memiliki kecenderungan tidak konsisten dalam berpolitik. Hari ini, sulit kiranya kita mencari sosok politisi yang benar-benar konsisten menjaga kesesuaian antara ideologi yang dianut dan langkah politik. Sebaliknya, sangat mudah bagi kita untuk menemukan elite politik dengan karakter janus face, alias bermuka dua yang memiliki kepribadian ganda (skizofrenik).

Hal ini yang dipertontonkan oleh sosok Isdianto, yang meninggalkan dunia birokasi (PNS) dan masuk dalam kerangka politik praktis melalui kendaraan PDIP yang menghantarkan beliau menempatkan posisi empuk sebagai wakil Gubernur Kepri mendampingi Nurdin Nasirun, yang secara otomatis menduduki kursi Gubernur menggantikan HM Sani yang meninggal dunia.

Dalam lintasan perjalanan menjalankan roda pemerintahan, politisi yang telah didapuk menempati posisi penting dalam struktur PDIP sebagai Ketua Dewan Pembina PDI Perjuangan Provinsi Kepri ini, akhirnya memilih hijrah, mencari tumpangan kendaraan lain demi memuluskan langkah politik merebut posisi Kepri satu. Media mencatat, Pak Isdianto sempat mendekati Partai NasDem dan Golkar, untuk menjajaki kemungkinan kedua partai ini mengusung dirinya, namun sebagaimana kita ketahui bahwa Golkar dan NasDem, sama-sama mengusung kadernya masing-masing dalam perhelatan pilkada kepri 2020 ini.

Setelah meninggalkan PDIP yang mengorbit dirinya sebagai Politisi dengan posisi yang menggiurkan, dan kehilangan kesempatan di dua partai yakni Golkar dan NasDem; Isdianto kemudian di dukung oleh Hanura, PKS dan terakhir Demokrat, akhirnya mendaftar diri sebagai calon gubernur Kepri berpasangan dengan Suryani dari partai PKS.

Politik Kutu Loncat Juga Menyebabkan Dekadensi Politik

Fenomena politikus “kutu loncat” juga mengubah wajah politik kita menjadi tampak absurd. Absurditas politik, seperti dijelaskan oleh Yasraf Amir Piliang, adalah kondisi ketika politik kehilangan makna dan esensinya sebagai alat perjuangan sosial. Absurditas terjadi karena para elite politik menempatkan kekuasaan (power)sebagai tujuan utama dalam berpolitik, lalu mengabaikan variabel nilai dan ideologi. Dalam kondisi yang demikian ini, aktivitas politik berjalan tanpa kepastian tujuan, komunikasi politik menjadi kabur, ideologi mengalami pendangkalan, dan etika politik terdegradasi ke titik yang paling rendah.

Ironi dan absurditas politik yang dilatari oleh fenomena maraknya politikus “kutu loncat” menjadi semacam penanda bahwa politik kita hari ini tengah mengalami dekadensi. Dekadensi politik, terejawantahkan secara jelas dalam praktik politik yang tidak lagi berorientasi pada perjuangan sosial, alih-alih murni sebagai aktivitas-aktivitas meraih kekuasaan. Dalam kondisi yang dekaden itu, politik telah kehilangan esensinya sebagai alat perubahan dan terjebak dalam pola relasi yang serba transaksional.

Realitas politik sebagaimana dilakoni oleh sosok Isdianto di atas, seakan menegaskan bahwa iming-iming kekuasaan dapat membuat seseorang kehilangan nilai perjuangan sosial, nilai-nilai kebersamaan tidak lagi menjadi hal yang esensi, mengabaikan relasi sosial yang bahkan berkontribusi membesarkannya, dan menggantikan dengan nilai transaksional demi melanggengkan kekuasaan. Pada titik ini, sosok politisi yang mempraktekkan politik Kutu loncat akan kehilangan kepekaa sosial, integritas diri menjadi tergerus, semua tergadai dengan hasrat kekuasaan.

Politik kita hari ini telah disinyalir terjerumus ke dalam logika Laswellian, yakni who gets what, when, and how. Nalar Laswellian menempatkan politik sebagai aktivitas pertukaran yang saling menguntungkan. Dalam logika yang demikian itu, perilaku dan manuver politikus sebagaimana yang dilakukan oleh Isdianto di atas, lebih sering dituntun oleh kehendak untuk berkuasa (will to power), bukan kehendak untuk mengubah (will to change).

Ada harga yang harus kita bayar dari kian akutnya dekadensi politik. Di satu sisi, politik gagal memberikan stimulus bagi terciptanya perubahan sosial lantaran para aktor di dalamnya terjebak dalam kepentingan egosentris. Di sisi lain, dekadensi politik juga menghambat terciptanya masyarakat sipil yang melek politik. Hal ini terjadi karena kontestasi politik, acapkali lebih mirip seperti panggung teater yang penuh kamuflase dan kepura-puraan. Publik tidak mendapatkan pendidikan, apalagi pencerahan politik, karena wacana politik yang disodorkan para elite cenderung dangkal dan tidak fundamental.

Fenomena “kutu loncat” menimbulkan praduga, bahkan polarisasi dalam masyarakat, apalagi ketika muncul bergelombang sebagai gejala politik tak biasa. Sebagian awam menanggapi secara skeptis sebagai kewajaran ketika seseorang memilih “pindah rumah” yang dianggapnya tidak lagi nyaman. Sementara yang lain menilainya secara kritis sebagai tindakan politis, bentuk perlawanan atau penggembosan dukungan, kritik internal atau bahkan upaya politis mencari “perahu pelampung” agar aman dalam lima tahun periode berikutnya. Analisis ini secara halus menyebut kaitan dengan upaya “meneguhkan identitas sosialnya”.

Kepada seluruh masyarakat Kepri, Pilkada seharusnya tidak berakhir menjadi ajang selebrasi demokrasi lima tahunan. Lebih dari itu, Pilkada idealnya juga menjadi momentum untuk memperbaiki dekadensi politik yang kian hari kian akut. Pilkada idealnya mampu menjadi tonggak sejarah bagi terciptanya perubahan fundamental terkait mentalitas dan etika politik. Jika tidak, maka Pilkada hanya akan menjadi ajang bagi para petualang politik untuk melunasi hasratnya pada kekuasaan.

Mari menggunakan hak suara anda, jatuhkan pilihan pada pemimpin yang berintegritas, dan abaikan mereka yang hanya mendompleng popularitas dengan meloncat dari satu pintu ke pintu yang lain demi sebuah kekuasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *