(Diolah Dari Berbagai Sumber)
Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris KEKAL Batam
Dalam dua edisi terakhir, Media owntalk.co.id memuat narasi opini yang berbicara tentang The Politic Of Image (Part I dan II), yang mencoba menghantar pembaca untuk melihat realitas lakon politik yang sedang booming dewasa ini, yang dilakukan baik oleh para politisi kawakan maupun amatiran, dalam merebut simpati publik, dengan memanfaatkan media elektronik (Smartphone, dan perangkat sejenisnya) untuk memamerkan sikap simpati “dadakan” dalam konteks narsisme. Pada tataran itu para politisi mencoba meraih simpati masyarakat dengan memanfaatkan instrumen virtual dalam mendesain manuver politik.
Politik Pencitraan
Dalam kamus seni pertempuran politik, ada satu senjata yang mematikan, yaitu politik pencitraan. Menurut pakar marketing politik dari London School of Economic (LSE), Margaret Scammell, politik pencitraan dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang memiliki reputasi baik, dan diartikan sebagai trustworthiness and credibility of the candidates or parties.
Kendati demikian, Politik pencitraan dengan legitimasi rezim media massa, terbukti ampuh memoleskan gincu propaganda, membentuk opini serta menjadikannya sebagai episentrum politik. Inilah paradoksal demokrasi ketika unsur “kegilaan” dalam akrobatik politik pencitraan, merasuki lapisan irasionalitas kekuasaan.
Rakyat disuguhi tontonan sandiwara dari lensa virtual smartphone, yang menghasilkan kamuflase visual dengan dramatisasi suasana yang nyaris sempurna, seakan-akan aktor politik dimaksud adalah “sinterklas” yang sedang membagi-bagi hadiah Natal kepada khalayak ramai, padahal lakon tersebut hanyalah kamuflase sang aktor, untuk mempublish simpati skeptis, akibat minim konsep.
Implikasi Politik Pencitraan
Politik pencitraan telah tumbuh menjadi sihir visual yang dipertontonkan kepada rakyat, bukan lagi sebagai edukasi managemen kepemimpinan, tetapi lebih kepada pesta pora tayangan jargon politik, sinematografi yang memanipulasi realitas sosial.
Padahal seyogyanya, politik pencitraan harus menjadikan figur kandidat sebagai media darling, dengan mengupas semua sisi kehidupannya dari sudut pandang seorang “super star” yang memuaskan dahaga rindu masyarakat, pada sosok yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Pada fase ini, politik pencitraan memiliki implikasi negatif yang krusial, sekaligus menampilkan positivisme visual dari figur yang dibentuk. Implikasi negatif dari politik pencitraan adalah pemberhalaan terhadap figur yang belum tentu memiliki kredibilitas, integritas, kapasitas intelektual yang masih diragukan, wawasan multidisipliner keilmuan, sebagai modal dasar dan managemen kepemimpinan yang harus diuji dalam prestasi real, bukan prestasi yang direkayasa, kemudian mendapatkan beatifikasi dari masyarakat yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik jangka pendek, dibawah kendali para pemilik modal.
Positivisme politik pencitraan, menghadirkan mozaik biografis-minimalis dari figur yang harus diketahui masyarakat, bahwa figur yang tengah diusung adalah figur yang memiliki program, visi dan misi yang berakar di lapisan masyarakat, bukan menampilkan sosok yang hanya bisa mendompleng program pemerintah saat ini, karena faktor kedekatan, atau numpang selfi ketika membagi air kaleng THR.
Inilah salah satu dahsyatnya bentuk kehebatan dari politik pencitraan, yang sistematis dari revolusi media virtual di abad milenium ini, sebagai era perang tekhnologi digital yang menyerbu hampir semua sektor kehidupan umat manusia. Namun perlu disadari masyarakat bahwa pemimpin prematur, yang dilahirkan dari mesin politik pencitraan, seringkali terjebak oleh kepentingan politik jangka pendek.
Politik Pencitraan karib dengan Politik Uang
Dalilnya, bukan politisi yang membeli rakyat, tetapi rakyat yang “membeli” politisi. Begitulah idealnya. Ketika rakyat berjuang menyerahkan segenap pikiran, tenaga dan (bahkan) sumbangan dana, maka saat itulah rakyat sedang membiayai dan “membeli” pemimpin. Konteksnya adalah mencari pemimpin dengan one man one vote.
Ketika demokrasi politik dimulai dengan “oleh rakyat”, maka politik akan berakhir “untuk rakyat” setelah mulanya berasal “dari rakyat”. Keadaban politik akan berhenti, kala demokrasi politik dimediasi “oleh uang”. Terjadilah vox populi vox argentum. Suara rakyat adalah gemerincing uang.
Manakala gemerincing uang lebih nyaring ketimbang suara nurani rakyat, proses berpolitik akan menjumpai jalan buntu. Tak ada lagi pemimpin ideal, hanya ada pemimpin bebal, yang tak mungkin mendengarkan aspirasi rakyat. Sebab, kebijakan politiknya difokuskan untuk meraih kembali uang, atau utang yang dipakai untuk membangun citra.
Pada titik itu, jangan tanya lagi apa yang sudah “negara” buat untuk rakyat, tetapi tanyakanlah berapa banyak uang yang diberikan politisinya untuk rakyat. Persis benar apa yang ditulis Senator Bernie Sanders, “The simple truth is that we cannot govern our own affairs when our national, state, and local debates are bought and sold by billionaires” (John Nichols dan Robert W. McChesney, 2013). Artinya, politik uang telah mengubah politik sekadar urusan privat, bukan urusan res publica (kepentingan umum).
Urusan privat yang kental dalam politik uang didekatkan dengan pola politik “do ut des”: memberi untuk mendapat. Politisi yang melakukan politik uang untuk membangun citra adalah politisi yang bukan sekadar untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan politik uang untuk membangun citra saat ini, politisi akan menggunakan kekuasaannya untuk mendistribusikan “kue” pembangunan untuk dirinya sendiri dan kroni.
Politik memang butuh ongkos (political financing), tetapi bukan untuk membeli suara rakyat (money politics). Politik dengan menggunakan amplop (berisi uang), sembako, hadiah, air kaleng, dan lain-lain untuk tujuan “membeli” suara rakyat, adalah kekhasan praktik politik yang hanya mengelabui nurani rakyat.
Rakyat Harus Tegas Menolak
Secara tidak langsung, rakyat akan menjadi “tumbal” politik pembangunan. Kebijakan politik pembangunan akan tidak maksimal sebab praktik korupsi, kolusi dan nepotisme lebih dominan. Kualitas pemimpin pun lebih lebih bercirikan rentenir politik, bukan negarawan. Saat itulah rakyat tak akan pernah menikmati pembangunan yang berkeadilan.
Untuk itu, rakyat harus bersama-sama melawan politik pencitraan dan politik uang dalam proses politik. Wajib Tolak!! Pemimpin yang berkualitas, tidak pernah lahir dari politik pencitraan dan politik uang. Pemimpin yang berintegritas, adalah pemimpin berpolitik secara santun dan beradab. Etika dan moral politik dijujung tinggi. Jika ada soal dana, maka political financing-nya melibatkan “tangan” dan “keringat” rakyat dengan skema political volutarism. (gotong-royong politik).
Untuk itu sebelum “nasi politik Pilkada menjadi bubur”, rakyat perlu berpartisipasi menjaga api keadaban politik tetap menyala. Dengan begitu, demokrasi politik melahirkan pemimpin politik yang matang dalam etika, moral dan integritas.
Caranya, tolak mentah-mentah politik pencitraan dan politik uang!
(Artikel ini pernah dimuat di media BaPuSe)