Diolah dari berbagai sumber
Oleh: Atanasius Dula, S.A.P
Sekretaris KEKAL Batam
Begitu sebuah karya seni tercipta, serta tulisan disebarluaskan, atau sebuah peristiwa tersaji dalam media virtual, ia tidak lagi milik penciptanya, tetapi menjadi milik khalayak publik yang berinteraksi dengannya.
Di alam demokrasi, manusia hidup sebagai makhluk sosial, yang oleh Aristoteles disebut sebagai zoon politicon. Manusia hidup berdampingan dengan manusia yang lain lantas tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain. Di samping saling membutuhkan satu sama lain, manusia juga hidup dalam kritik. Tidak ada manusia yang lepas dari kritik. Tidak peduli pada saat membaca, menulis, berjalan, bernafas, kita akan selalu selalu bersinggungan dengan kritik.
Saya sepakat dengan pendapat Adam Kirsch, dalam esai berjudul How to Live With Critics yang mengatakan: …a critic is just a reader or viewer or listener who makes the question explicit and tries to answer it publicly, for the benefit of other potential readers or viewers or listeners. In doing so, she operates on the assumption that the audience for a work, the recipient of a gift, is entitled to make a judgment on its worth. The realm of judgment is plural. Everyone brings his or her own values and standards to the work of judging. This means that it is also, essentially, democratic. No canon of taste or critical authority can compel people to like what they don’t like.
Kirsch hendak menyampaikan bahwa setiap orang berhak memberi penilaian terhadap seseorang. Setiap orang diberikan otoritas yang kritis untuk mengatakan “saya suka atau saya tidak suka”. Namun, kritik hendaknya disampaikan dengan cara-cara beradab, bukan menghakimi pribadi seseorang, apalagi sampai menyinggung sisi-sisi kemanusiaannya.
Kritik itu lahir sebagai bahan evaluasi. Kritik lahir sebagai apresiatif dengan analisis yang logis dan argumentatif untuk menafsirkan sesuatu, bukan sekadar mengekspresikan rasa ketidakpuasan terhadap sebuah persoalan, yang disuarakan dengan analisis dangkal dan jauh dari nilai-nilai intelektualitas.
Ada begitu banyak ruang melempar kritik. Lewat media sosial, misalnya. Media sosial yang begitu mudah dan praktis, seseorang dengan mudahnya dapat melakukan kritik dengan meng-update status. Pelbagai kritik bisa dilayangkan kepada siapa pun, namun harus sesuai koridor hukum yang berlaku.
Di alam demokrasi, semua orang memiliki hak dan kebebasan berekspresi. Tetapi harus dibedakan, kebebasan tidak serta merta menjadikan seseorang bebas menyuarakan kritik. Ada sanksi (punishment) yang dijatuhi bagi pelanggar yang menggunakan hak dan kebebasannya secara serampangan.
Demokrasi tidak memberikan ruang bagi para agitator, pemain oportunis dan semacamnya, meski demokrasi menganut prinsip keterbukaan. Terbuka bukan berarti sebebas-bebasnya menyuarakan kritik kelewat batas.
Dalam konstitusi jelas diatur bahwa semua orang berhak berpendapat, menyuarakan aspirasi kepada penguasa atau pemangku kebijakan tanpa terkecuali. Lalu, apakah kritik sebagai bentuk apresiasi atau kritik sebagai bentuk penghakiman semata? Itu tergantung siapa yang melempar kritik. Melempar kritik pun butuh penalaran, logika berpikir yang masuk akal dan landasan yang kuat.
Kritik seharusnya solutif
Keliru besar jika kritik dijadikan sebagai tameng untuk menyerang personal seseorang. Kritik bukan lagi sebagai mengoreksi kebijakan dan perilaku politik tetapi mengarah kepada gunjingan dan cibiran. Kritik tidak lagi sebagai katalisator perbaikan kinerja, tetapi sebagai alat menyerang.
Kritik tidak sesuai fakta tanpa pijakan serta informasi yang sahih juga dapat menimbulkan benturan. Ini bukan kritik tapi gosip, hoaks, informasi yang menyesatkan. Bob Dylan mengatakan, “Jangan mengkritik apa yang tidak kamu mengerti.”
Saya memang sepakat dengan Kirsch, “We will always need political dreamers; but for the sake of our democracy, we must hope that the future belongs to the critics”. Kita hidup dalam kritik. Apa pun kritik itu, tidak akan lepas dari realitas kehidupan kita. Ia tetap tumbuh subur dan beranak pinak di alam demokrasi, namun disaat yang sama saya juga mengamini apa yang dikatakan Rocky Gerung bahwa kritik itu mengurai supaya ada cara baru melihat soal, bukan sebuah ekspresi labil yang mempertontonkan kedunguan dalam menanggapi persoalan.
Solutif, itulah kritikus yang hebat
Kritikus yang hanya pandai menguak fakta, kadang malah perlu dicibir dan dinafikan keberadaan mereka. Kritikus semacam ini tidaklah memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan kecerdasan moral bangsa, alih-alih memberikan nilai tambah perbaikan, malah menyulut kontroversi tak berdasar.
Biasanya kritikus semacam ini menyusun argumentasi untuk kepentingan tertentu dan menggelapkan pengakuan-pengakuan atas kebenaran konsep, kehebatan pemikiran, kecemerlangan ide, kebesaran kiprah, kekuatan persaudaraan, kestabilan pilar ekonomi, kebesaran hati dan kemajuan progresif.
Kritikus yang sadar diri
Saya juga seorang kritikus. Namun demikian, saya lebih suka meneladani apa yang dianjurkan Ary Ginanjar, sang Founder ESQ LC dengan gagasan The ESQ Way-nya yang mendunia. Mengapa? karena Ary Ginanjar bukan hanya menghadirkan fakta dan bantahan-bantahan, Ary memberikan kritik lengkap dengan solusinya. Maka buah kritiknya bukan sebatas kontroversi orang perorang, tetapi menjadi sebuah terobosan baru yang memadukan konsep kecerdasan emosional dan spiritual.
Mari kita melatih diri menjadi kritikus yang solutif seperti saran Ari Ginanjar.
(Artikel ini pernah dimuat di media BaPuSe)